Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Surahman Hidayat (kiri) didampingi Wakil Ketua MKD Junimart Girsang (kedua kiri), Sufmi Dasco Ahmad dan Kahar Muzakir menunjukkan surat pengunduran diri Ketua DPR pada sidang pelanggaran kode etik di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 16 Desember 2015. MKD memutuskan sidang dinyatakan ditutup dengan menerima surat pengunduran diri Setya Novanto dan terhitung Rabu (16/12) yang bersangkutan dinyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Ketua DPR. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Sekretariat Nasional Jaringan Organisasi dan Komunitas Warga Indonesia (Seknas Jokowi) Muhammad Yamin mengatakan ada ruang terbuka terjadinya perubahan komposisi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat pascamundurnya Setya Novanto dari jabatan Ketua DPR. Menurut dia, seharusnya house of speaker adalah partai politik pemenang pemilu legislatif. “Komposisi pimpinan Dewan pun ditentukan secara proporsional,” ucap Yamin dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Kamis, 17 Desember 2015.
Yamin meminta anggota Dewan mendengar aspirasi publik dan menjadikan mundurnya Setya sebagai momentum merevisi Undang-Undang MD3. "Dengan demikian, cara berbangsa dan bernegara menjadi semakin tepat dan benar," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Seknas Jokowi Osmar Tanjung menuturkan sudah saatnya kegaduhan yang selama ini terjadi diselesaikan. “Undang-Undang MD3 melahirkan kegaduhan dan diskriminatif karena hanya berlaku di pusat,” katanya.
Menurut Osmar, saat Partai Golongan Karya memimpin DPR selama setahun lebih, tupoksi anggota DPR tidak berjalan semestinya.
"Integritas pimpinan DPR makin jatuh ketika sidang MKD disepakati tertutup saat menghadirkan Setya Novanto," ucap Osmar.
Osmar berujar, Golkar tidak pantas memimpin DPR. Ia menuturkan kocok ulang pimpinan DPR dan menyelesaikan tugas-tugas pokok DPR adalah suatu keniscayaan. “Tunjukkan dan buktikan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dapat memenuhi harapan 250 juta rakyat Indonesia."