Sjafruddin Prawiranegara! Presiden RI ke-2, Kata Ketua MPR
Editor
Kodrat setiawan
Selasa, 10 November 2015 15:17 WIB
TEMPO.CO, Padang - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Zulkifli Hasan mengaku, pahlawan nasional Sjafruddin Prawiranegara layak ditetapkan sebagai Presiden kedua Republik Indonesia. Sebab, Sjafruddin yang memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 1948 hingga 1949.
"Ini sejarah yang harus kita luruskan dan hormati," ujar Zulkifli saat menjadi inspektur upacara Hari Pahlawan Nasional di halaman kantor Gubernur Sumatera Barat yang terletak di Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa, 10 November 2015.
Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden saat itu, memberi mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, untuk membentuk PDRI pada 19 Desember 1948.
Sebab, Belanda berhasil menguasai Yogyakarta yang menjadi ibu kota RI saat itu. Soekarno-Hatta dan sejumlah anggota kabinet ditangkap dan diasingkan.
Pembentukan pemerintah darurat ini dilakukan untuk mengatasi kekosongan pemerintah. Hal ini dikarenakan, sesuai hukum internasional, ketiadaan pemerintah adalah salah satu syarat sah sebagai negara akan hilang.
Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu menjabat Menteri Kemakmuran menggelar rapat karena mendapatkan informasi situasi di Yogyakarta yang memburuk lewat siaran radio meskipun kawat dari Soekarno-Hatta tak sampai di tangannya.
Akhirnya, rapat di Bukittinggi memutuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik (PDRI). Sjafruddin ditunjuk sebagai ketua PDRI. Teuku Moh. Hasan yang menjabat Komisaris Pemerintah Pusat di Sumatera ditunjuk sebagai wakil ketua. Mereka pun menyusun kabinet pemerintah darurat.
Sjafruddin yang memimpin negara ketika itu terus melakukan gerilya. Pemerintahan darurat menyatakan Indonesia masih tetap ada secara de facto dan de jure.
Zulkili menilai, Presiden Sjafruddin sukses menjalankan tugas sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Terbukti keberadaan Indonesia saat itu tetap diakui. Malah, Zulkifli sependapat dengan Pakar Tata Negara Jimly Asshiddiqie yang menyatakan Sjafruddin Prawiranegara itu Presiden Republik Indonesia.
"Kalau tidak ada (PDRI), tidak akan ada negara ini. Terputus," ujar Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini. Karena itu, kata Zulkifli, sejarah ini harus diluruskan.
Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie termasuk yang menyokong pengakuan itu. Menurut Jimly, tidak perlu ada keraguan untuk menyatakan Sjafruddin selaku Ketua PDRI sejak 19 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 sebagai kepala negara. "(Dia) adalah kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia," katanya. Dalam sistem UUD 1945, kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia itu adalah Presiden Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, secara konstitusi, Sjafruddin Prawiranegara diakui sebagai presiden RI. Sebab, dalam konsep konstitusi, disebut hukum tata negara darurat. Dalam konsepnya, alat-alat kelengkapan negara berhak melakukan segala cara untuk mempertahankan negara.
"Sehingga PDRI itu konstitusional, dan presidennya juga konstitusional," ujarnya kepada Tempo, Selasa, 10 November 2015.
Menurutnya, Indonesia darurat adalah Indonesia dalam fase penting. Melupakan fase itu artinya melupakan jasa-jasa negara ini terus berdiri.
Dalam kajian ilmu negara, kata Feri, keberadaan PDRI membuat Indonesia masih diakui sebagai negara. Dengan demikian, upaya Belanda untuk menghapus Indonesia dalam peradaban negara-negara menemui kegagalan.
Karena itu, kata Feri, jika Indonesia mengakui PDRI adalah Indonesia dalam keadaan darurat, mestinya presiden juga harus diakui. Sebab, PDRI itu membuat Indonesia tetap ada secara de facto dan de jure. "Masak PDRI diakui sebagai pemerintah yang sah, tapi presidennya tak diakui. Aneh," ujarnya.
ANDRI EL FARUQI