Cerita Kapolri: Asal Usul Surat Edaran Ujaran Kebencian
Editor
Widiarsi Agustina
Selasa, 3 November 2015 05:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kapolri Jenderal Badrodin Haiti membenarkan telah mengeluarkan surat edaran soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech. Surat bernomor SE/06/X/2015 itu baru diteken Badrodin 8 Oktober 2015. Sebenarnya, apa alasan Kapolri mengeluarkan surat edaran itu?
Menurut Badrodin, surat yang ditujukan untuk internal kepolisian itu sudah dikirimkan ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia. Surat edaran itu dikeluarkan untuk melindungi anggotanya dalam menegakkan hukum.
Terutama untuk menjelaskan cara penanganan sebuah pernyataan yang dinilai menyebar kebencian agar tidak meluas dan menimbulkan konflik sosial. (Lihat video Surat Edaran Ujaran Kebencian Membuat Masyarakat Mawas Diri di Medsos)
"Selama ini, banyak anggota yang ragu-ragu antara kebebasan berbicara dengan penebar kebencian," kata Badrodin dalam percakapan dengan Tempo di kantornya, Senin, 2 November 2015. "Padahal semua itu ada di aturan formalnya, yaitu UU."
SIMAK:Polisi Sebut Konflik Tolikara Dipicu oleh Ujaran Kebencian
<!--more-->
Badrodin juga menyangkal jika surat edaran itu dapat menghambat demokrasi atau bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), seperti yang dipersoalkan banyak kalangan. Sebaliknya, menurut Badrodin, surat edaran hate speech ini dimaksudkan untuk melindungi hak semua orang.
Era kebebasan informasi, menurut Badrodin, banyak dimanfaatkan orang untuk sebebas-bebasnya berpendapat, bahkan tak peduli melontarkan pernyataan yang kadang mengarah pada ujaran kebencian hingga merisak kehormatan orang.
Tak hanya spontan, tapi juga melalui media, misalnya dalam orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring sosial, penyampaian pendapat di muka umum, ceramah keagamaan, media massa cetak atau elektronik, dan pamflet.
Badrodin menyebut, sudah banyak orang atau lembaga melaporkan kasus-kasus pelecehan kehormatan karena merasa dirisak namanya melalui kampanye di media hingga sosial media. "Sementara kami harus melindungi masyarakat, " kata Badrodin. "Intinya, demokrasi tak boleh seenaknya."
SIMAK: Begini Cara Mabes Polri Tetapkan Perbuatan Ujaran Kebencian
<!--more-->
Menurut Badrodin, pembahasan hate speech sudah dimulai sejak kapolri dijabat Sutarman dan wakilnya, Nanan Soekarna, pada periode Maret 2011-Agustus 2013. “Kami mengadakan pembahasan di seminar-seminar,” kata Badrodin.
Lebih dari lima tahun membahas, menurut Badrodin, polisi sampai pada kesimpulan bahwa surat edaran mengenai ujaran kebencian harus segera dikeluarkan. Apalagi belakangan banyak laporan pengaduan yang diterima kepolisian. Itu yang membuat Badrodin merasa perlu meneken. "Bukankah lebih cepat lebih baik,” katanya.
Lagipula, Badrodin tak bisa mengelak, jajaran di bawahnya hingga tingkat Polsek masih ragu-ragu menerapkan pasal hate speech yang sebelumnya diatur dalam KUHP tersebut. Ia menyebut, ujaran kebencian diatur dalam Pasal 310, 311, 315, 317, dan 318 KUHP." Faktanya juga, ujaran kebencian sudah jadi bibit konflik," kata Kapolri.
Ia menunjuk kasus Jakmania rusuh. Badrodin menceritakan bagaimana polisi akhirnya memproses 10 orang yang diduga Jakmania atas aksi perusakan dalam final Piala Presiden yang mempertemukan Persib Bandung dan Sriwijaya FC di Gelora Bung Karno. Ujungnya, polisi menemukan ada pernyataan provokasi Sekjen Jakmania Febriyanto yang akhirnya menginspirasi tindak kekerasan.
"Ini membuat resah," ujarnya.
Menurut Badrodin, apabila ada aduan, pihaknya juga tidak serta-merta mempidanakan. Tapi melakukan mediasi antarpihak yang berkonflik. Apabila tidak ada titik temu, baru berlanjut ke proses selanjutnya.
Namun untuk pelaku penebar kebencian yang destruktif, menimbulkan anarkis, memprovokasi dan berbahaya, Polri tak perlu pengaduan untuk mempidanakan. Polri akan langsung bergerak melakukan penangkapan.
WDA