UMP Jawa Barat Rp 1,3 Juta, Buruh Siap Berdemo
Editor
Nunuy nurhayatiTNR
Senin, 2 November 2015 17:49 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat 2016 ditetapkan Rp 1.312.355. “Kita mengacu pada UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) terendah, Ciamis,” kata Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di Bandung, Senin, 2 November 2015.
Penetapan UMP itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep.1244-Bangsos/2015 yang diteken Aher, sapaan Ahmad Heryawan, Ahad, 1 November 2015. “Hitung-hitungan itu sesuai dengan PP (Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan),” kata dia.
Formula penghitungan UMP mengacu pada PP Pengupahan dengan kenaikan 11,5 persen, yakni akumulasi Inflasi 6,83 persen dan laju pertumbuhan ekonomi 4,67 persen, Year on Year sejak September 2014 sampai September 2015. UMK Ciamis tahun ini menjadi patokan, yakni Rp 1,177 juta.
Aher mengatakan pemerintah Jawa Barat sudah lima tahun, sejak 2010, tidak mengeluarkan UMP. “Tapi karena PP, disertai dengan surat edaran Mendagri mewajibkan semua provinsi menetapkan UMP,” kata Aher.
Menurut Aher, UMP sengaja tidak ditetapkan lima tahun terakhir karena sifatnya tidak wajib. “Justru yang paling menentukan teman-teman buruh dan pekerja itu UMK,” kata dia.
Aher mengatakan, menyusul UMP, pada 21 November 2015 akan ditetapkan UMK masing-masing daerah. “Kalau sekarang kajiannya sederhana, upah tahun lalu ditambah persentase inflasi dan pertumbuhan ekonomi kali upah tahun lalu,” kata Aher.
Soal penolakan nilai UMP Jawa Barat itu, Aher menilai wajar. “Di zaman demokrasi, ada penolakan wajar asal dilakukan secara baik, tidak anarkis. Tapi yang jelas penolakan pada PP itu urusannya dengan pusat, bukan kita. Seperti provinsi mana pun, kita hanya pelaksana,” kata Aher.
Penolakan UMP itu, misalnya disuarakan organisasi serikat pekerja yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Barat (ABJ). “UMP dibuat berdasarkan PP 78/2015 yang sampai detik ini kita tolak,” kata Koodinator ABJ, Ketua DPD Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Jawa Barat Ajat Sudrajat saat dihubungi Tempo, Senin, 2 November 2015.
Ajat mengatakan, jika pemerintah memaksa penggunaan UMP, dasar penghitungannya harus mengacu pada rata-rata UMK di Jawa Barat. Rumusnya pun diminta ditambah dengan asumsi persentase kebutuhan hidup setahun ke depan yang tidak masuk dalam perhitungan formula dalam PP 78 Tahun 2015. “DKI saja mematok UMP naik 14 persen, kenapa di Jawa Barat cuma 11,5 persen,” kata dia.
Menurut Ajat, UMP akan berdampak luas pada buruh di sejumlah perusahaan. Di antaranya buruh perkebunan, pekerja perusahaan retail waralaba yang kantornya terpusat tapi lini usahanya tersebar di seluruh Jawa Barat, serta usaha kecil menengah.
Ajat mencontohkan, penggunaan UMP di daerah dengan laju pertumbuhan ekonomi tidak tinggi tidak pas. “UMP itu tidak meng-cover potensi ekonomi daerah. Kita tidak bisa menyatukan kebutuhan katakan lah wilayah Bandung Raya yang pertumbuhan ekonominya tinggi,” kata Ajat. Dia juga khawatir, sejumlah perusahaan akan memilih menggunakan UMP ketimbang UMK daerahnya karena nilainya kecil.
Menurut Ajat, semua organisasi serikat pekerja dan buruh sudah menginstruksikan anggotanya di Dewan Pengupahan untuk walkout dalam pembahasan UMK jika pemerintah daerah memaksa menggunakan rumus PP 78 Tahun 2015. “Kita meminta menggunakan kembali mekanisme lama,” kata dia.
Ajat mengatakan, organisasi buruh dan pekerja di daerah sudah mempersiapkan aksi yang akan berlangsung estafet, bergantian di semua daerah untuk menolak penggunaan PP 78 Tahun 2015 dalam penghitungan upah minimum.
AHMAD FIKRI