Hari Santri, Umam: Penghormatan Bagi Syuhada Kemerdekaan
Editor
Sugiharto
Kamis, 22 Oktober 2015 10:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Polemik penetapan Hari Santri Nasional yang jatuh pada hari ini, 22 Oktober 2015, belum usai. Penolakan dari Pengurus Pusat Muhammadiyah memicu tanggapan dari pihak yang dinilai paling diuntungkan, yakni organisasi Islam terbesar Nahdlatul Ulama.
Khatibul Umam Wiranu, mantan Ketua Lajnah Ta'lif wan Nasyru (Lembaga Penerbitan dan Informasi Publik) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, menilai penetapan Hari Santri Nasional mestinya disyukuri dan disambut dengan senang hati. “Penetapan 22 Oktober ditulis dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia perlu disyukuri dan disambut dengan senang hati,” katanya dalam siaran pers yang diterima Tempo pada hari ini, Kamis, 22 Oktober 2015.
Presiden Joko Widodo menetapkan Hari Santri Nasional setiap 22 Oktober melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang ditandatangani 15 Oktober 2015. Ini pemenuhan janji Jokowi kepada kaum nahdliyin dalam kampanye Pemilihan Presiden 2014.
Umam menjelaskan, penetapan tanggal 22 Oktober diambil dari peristiwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan PBNU berkaitan dengan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertahankan Pancasila, serta kewajiban melawan penjajahan. Mereka, para penggagas Resolusi Jihad dan masyarakat dari berbagai penjuru yang menunaikan seruan itu pastilah para pejuang. “Mereka yang gugur di medan juang 10 November 1945 di Surabaya adalah para syuhada.”
Dalam Al Quran, menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat ini, dinyatakan bahwa para syuhada adalah manusia yang tetap hidup meski jasadnya telah dikubur. Mereka hidup dalam keabadian, termasuk para syuhada kemerdekaan Indonesia. Umam juga yakin bahwa para syuhada tak membutuhkan sanjungan dan mengharap pujian dari siapapun. “Tetapi generasi penerus wajib mengingat, mencatat jasa-jasa mereka, serta berusaha meneruskan perjuangannya,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan menolak penetapan Hari Santri Nasional dengan alasan itu mengkotakkan masyarakat menjadi santri dan nonsantri. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, yang juga mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsuddin bahkan membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan penetapan itu. "Adalah tidak tepat, taktis dan strategis adanya Hari Santri Nasional, karena hal itu dapat mengganggu persatuan bangsa," ujarnya, pada Ahad, 18 Oktober 2015.
Menurut Din, makna jihad mengalami penyempitan jika dibakukan semata dalam peristiwa Resolusi Jihad. Penekanan Resolusi Jihad yang lebih berona fisikal (harbi) itu juga penghambat upaya jihad selama ini ke arah lebih luas, seperti jihad iqtishadi (ekonomi), jihad 'ilmi (iptek), jihad i'lam (informasi).
Namun, tokoh NU Saifullah Yusuf menilai Muhammadiyah berlebihan. "Kan, sebetulnya penetapan itu sama seperti penetapan Hari Raya Idul Fitri maupun Imlek," kata Saifullah, yang juga Wakil Gubernur Jawa Timur, kepada Tempo di Surabaya pada 17 Oktober 2015.
Jobpie Sugiharto