Presiden Joko Widodo (tengah) berbicara pada sejumlah wartawan usai makan bersama di Istana Negara, Jakarta, 27 Agustus 2015. Pertemuan yang berlangsung rutin setiap dua minggu sekali untuk kelancaraan peliputan kepresidenan. Tempo/ Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo menginginkan program bela negara sebagai sebuah cara untuk membangun nilai patriotik. Ari Dwipayana, anggota Tim Komunikasi Presiden, mengatakan konsep bela negara yang diinginkan Presiden Jokowi tidak sama dengan konsep wajib militer.
"Beliau bayangkan seperti national service di beberapa negara. Tapi, tidak sama dengan wajib militer," kata Ari Dwipayana di Istana, Senin, 19 Oktober 2015.
Karenanya, menurut Ari Dwipayana, program bela negara yang diinginkan Presiden Jokowi, lebih menyerupai pembangunan karakter dengan nilai patriotik dan optimisme dalam tiap warga negara.
Seusai bertemu dengan Presiden di Istana hari ini, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bela negara yang diusulkannya tidak sama dengan wajib militer. "Tidak ada itu, suka nambah-nambahin saja. Tidak ada saya ngomong wajib militer. Wajib militer ngapain? wamil kan latihan militer, ini tidak," katanya.
Ryamizard menegaskan dalam konsep bela negara, pemerintah ingin mengubah pemikiran warganya agar bangsa terhadap Indonesia. "Mengubah otak supaya bangga pada negara ini, apa tidak boleh, itu kan harus," katanya.
Ryamizard mengatakan dalam kurikulum bela negara nantinya, akan disertakan mengenai sejarah Indonesia. Menurut dia, sejarah Indonesia sangat penting dimasukkan dalam kurikulum supaya menimbulkan kebanggaan. "Bagaimana dia bangga kalau tidak ngerti sejarah perjuangan panjang sekali," katanya.
Menteri Pertahanan menargetkan akan merekrut 100 juta warga negara selama sepuluh tahun untuk program bela negara. ANANDA TERESIA