Sejumlah korban/keluarga tragedi kemanusiaan 1965/1966 melakukan aksi damai di gedung Komnas HAM, Jakarta, Selasa (8/5). Mereka mendesak sidang paripurna untuk mengumumkan segera hasil penyelidikan peristiwa 1965/1966 terbuka. TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung M. Prasetyo mengatakan pemerintah tetap berupaya menggelar rekonsiliasi atas kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, khususnya tragedi 1965. Menurut dia, upaya rekonsiliasi tragedi 1965 merupakan satu-satunya solusi karena sulitnya menentukan siapa tersangka kasus pembunuhan terhadap para kader dan orang yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) kala itu.
"Saat itu chaos, siapa berbuat apa tidak jelas. Itulah makanya perlu menempuh penyelesaian lewat rekonsiliasi," kata Prasetyo usai salat Jumat di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat, 25 Desember 2015. Namun, ia mengaku tim rekonsiliasi yang digagas bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sejak Maret lalu belum ada perkembangan.
Musababnya, Prasetyo dan tim sulit menentukan siapa pelaku, korban, dan bukti-buktinya. Dia pun belum bisa memastikan apakah pemerintah akan minta maaf kepada korban pada peringatan tragedi 1965 pada 1 Oktober nanti. "Itu (minta maaf) bagian dari rekonsiliasi. Ada poin-poin yang harus dilakukan," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dikabarkan tidak akan meminta maaf kepada keluarga dan korban tragedi Gerakan 1 Oktober 1965. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir usai bertemu Jokowi di Istana pada 22 September lalu mengatakan bahwa Jokowi telah mengklarifikasi isu permintaan maaf. "Kata presiden, kalau kami minta maaf, kami akan berhadapan dengan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan TNI," kata Haedar.
Padahal, Juli lalu Prasetyo mengatakan akhir dari penyelesaian kasus lewat jalur rekonsiliasi adalah pernyataan maaf dari negara yang diwakili presiden. Pernyataan terbuka itu setelah pengusutannya melalui penyelidikan independen tuntas.