Mangrove dan Karang Jadi Tulang Punggung Nusa Lembongan
Editor
Untung Widyanto koran
Kamis, 30 April 2015 22:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Perahu yang memuat empat wisatawan itu meliuk-liuk di hutan mangrove seluas 9 kilometer persegi di Pulau Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Nyoman Lendre hanya menggunakan sebilah bambu untuk mengemudikan perahu miliknya yang panjangnya enam meter.
“Mangrove Tour ini memang tidak boleh menggunakan perahu bermotor agar tidak merusak lingkungan,” kata Lendre yang menerima bayaran Rp 75.000 kepada Tempo di Nusa Lembongan, awal April 2015. Selain Lendre ada 33 warga Desa Jungut Batu, Nusa Lembongan lainnya yang menyewakan perahunya berwisata mangrove selama setengah jam. Mereka membentuk organisasi untuk mengatur antrean perahu dan mempromosikan program wisata itu.
Dalam sehari, biasanya Lendre mendapat satu kali penyewaan. Pada musim libur, penghasilannya melonjak karena banyak wisatawan yang datang ke pulau yang lokasinya 30 menit naik kapal cepat dari pantai Denpasar. Dia bisa mendapat tiga sampai empat kali penyewaan.
Mangrove Tour yang terbentuk sejak 2003 memang makin menambah daya pikat Pulau Nusa Dua dan Pulau Nusa Lembongan sebagai daerah tujuan wisata. Para turis juga menyelam untuk menikmati keindahan terumbu karang dan biota laut lainnya di peraitan Nusa Lembongan. Walhasil, banyak anak muda yang terjun ke sektor wisata ini dan menolak sebagai petani rumput laut.
Memang pada periode 1984 – 1994 rumput laut jadi primadona di mana sekitar 95 % warga terlibat ke bisnis yang menjanjikan ini. Sejumlah faktor menjadi penyebab kemunduran bisnis rumput laut. Pertama, serangan penyakit ais-ais dan serbuan gulma. Kedua, pencemaran laut karena makin banyak kapal dari Denpasar yang singgah.
Faktor ketiga, tempat menjemur dijadikan bungalow atau hutan. “Faktor keempat, generasi muda tidak tertarik lagi menjadi petani rumput laut,” ujar Murni, warga lainnya. Kelima, harga rumput laut yang rendah.
<!--more-->
Pentingnya menjaga mangrove dan terumbu karang baru muncul belakangan. Sebelumnya, warga menebangi batang mangrove untuk kayu bakar dan lahan industri garam. Alhasil di beberapa tempat terjadi abrasi. Kemudian seorang turis asal Prancis mengajak warga mengembangkan wisata mangrove. Warga lantas menanam bakau pada lahan kosong dan membentuk Mangrove Tour. Mereka juga membuat aturan tertulis desa yang disebut awig-awig. Aturan ini berisi larangan memotong pohon mangrove, apalagi merusaknya.
Makin banyaknya turis yang datang ke Nusa Lembongan, menambah pemasukan bagi kas masyarakat. Tahun lalu, pendapatan asli daerah sebesar Rp 1 miliar, hanya dari pungutan terhadap wisatawan yang datang. Banyak studi menunjukkan arti penting mangrove. Bukan hanya berperan dalam adaptasi perubahan iklim, hutan bakau juga sangat bermanfaat dalam mitigasi perubahan iklim.
Tanaman ini memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. "Kepadatan karbon hutan mangrove lebih tinggi empat kali daripada hutan tropis umumnya," kesimpulan penelitian yang dilakukan Cifor dan USDA Forest Services (Departemen Pertanian Amerika Serikat Bidang Kehutanan). Hasil penelitian itu dipublikasikan dalam Nature GeoScience edisi 3 April 2011.
Sebagian besar karbon disimpan di bawah hutan mangrove daripada di atas permukaan tanah dan air. Jumlah karbon yang tersimpan di atas tanah sebanyak 100-120 ton per hektare. Sementara yang di bawah tanah bisa 1.200-1.300 ton setiap hektare. "Itu untuk semua jenis mangrove," kata Daniel Murdiyarso, peneliti Cifor.
Cecep Kusmana, ahli mangrove dari Institut Pertanian Bogor, pernah melakukan riset di Muara Angke pada tahun 2008 hingga 2010.”Ternyata mangrove usia 2 tahun berhasil menyerap 230 gram karbon dioksida per 100 gram daun," katanya. Sedangkan satu pohon mangrove tersebut berat total daunnya sampai 1,5 kilogram.
Daniel Murdiyarso dan teman-temannya juga menghitung bahwa perusakan dan degradasi ekosistem mangrove diperkirakan menghasilkan hingga 10 persen dari emisi deforestasi global. Sebab, yang hilang bukan hanya karbon di atas permukaan mangrove, tapi juga di bagian bawahnya. Di Indonesia, saat ini ada 3,1 juta hektare mangrove atau 22,6 persen di dunia. Hutan ini terancam rusak jika tidak ada upaya melindunginya.
<!--more-->
Bagaimana manfaat ekonomi mangrove dan terumbu karang di Nusa Lembongan? Belum ada lembaga yang melakukan riset. Kita bisa mengacu pada hasil studi valuasi ekonomi di Kabupaten Raja Ampat yang dilakukan Universitas Negeri Papua dan Conservation International Indonesia. Kajian ini dilakukan pada Januari-September 2006.
Menggunakan pendekatan biaya kerugian (cost-based approach), diperkirakan potensi jasa lingkungan dari ekosistem mangrove di Kepulauan Raja Ampat mencapai Rp 18 miliar per tahun atau Rp 180 miliar dalam jangka waktu 20 tahun dengan tingkat suku bunga 10%.
Sementara itu, potensi jasa lingkungan dari ekosistim terumbu karang dengan menggunakan pendekatan biaya pengganti (replacement cost) mencapai angka Rp 511 juta per tahun atau mencapai Rp 48 miliar per tahun untuk jangka waktu 20 tahun dengan tingkat suku bunga 10%.
Dengan menggunakan metode benefit transfer, total nilai guna tak langsung dari jasa lingkungan yang disediakan ekosistem di Kepulauan Raja Ampat (termasuk ekosistem hutan dataran rendah, hutan perbukitan, hutan pegunungan rendah, mangrove, semak, savana) mencapai angka Rp 1,7 triliun per tahun. Atau Rp 16 triliun dalam jangka waktu 20 tahun dengan tingkat suku bunga 10%.
Kajian lain dibuat Profesor Anil Markandya, Luke Brander dan Alistair Mc Vittie. Ketiga ekonom ini, masing-masing menulis riset ilmiah untuk Copenhagen Consensus Center. Mereka menemukan bahwa upaya konservasi dapat menjadi investasi besar. Pada target melindungi terumbu karang misalnya, biaya setiap dollar AS akan membawa manfaat 24 dollar AS.
Sejumlah penelitian memang menemukan bahwa upaya mengurangi setengah tutupan hutan di masa depan, akan membawa manfaat 10 dollar AS untuk pengeluaran setiap 1 dollar AS. Analisis biaya manfaat menunjukan tujuan untuk mengurangi 50% tutupan hutan global , memiliki nilai sosial 5-15 dollar AS untuk pengeluaran setiap dollar AS.
Analisis lain menunjukkan upaya mengurangi kehilangan 50% terumbu karang global membutuhkan biaya 3 miliar dollar AS tiap tahunnya. Ternyata, upaya itu membawa manfaat sedikitnya 72 dollar AS atau 24 dollar AS yang bakal kembali dari pengeluaan satu dollar AS. Aneka manfaat jasa lingkungan itu kini dirasakan warga Nusa Lembongan. “Sektor pariwisata telah menjadi tulang punggung masyarakat,” kata Wayan Suarbawa yang menjadi Sabha Desa (Dewan Pengawas Desa), Desa Adat Nusa Lembongan.
UNTUNG WIDYANTO