Museum Abdul Haris Nasution atau Museum Sasmitaloka Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution di Jalan Teuku Umar No. 40, Jakarta, 23 September 2014. Pada 1 Oktober 1965, ditempat inilah terjadi peristiwa dramatis yang hampir merenggut nyawa DR. Abdul Haris Nasution. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Semarang - Keluarga satu korban pembantaian peristiwa 1965 yang dikuburkan secara massal di Kota Semarang, Jawa Tengah, mulai terkuak. Keyakinan adanya keluarga korban 65 diketahui saat ada rombongan mendatangi lahan tempat pemakaman massal para korban di Kelurahan Wonosari, Kecamatan Mangkang, Kota Semarang.
"Namun keluarga korban itu tak diketahui secara rinci alamatnya. Kami terlambat datang saat mereka berziarah di pemakaman massal itu," kata Yunantyo Adi, inisiator pendiri Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM), yang selama ini aktif meneliti keberadaan kuburan massal korban pembantaian peristiwa 1965 di Kota Semarang, pada Rabu, 3 Desember 2014.
Yunantyo yang mendapat laporan dari penjaga lahan pemakaman massal itu menyebutkan telah datang sejumlah warga asal Kabupaten Kendal untuk berziarah. "Keluarga yang berziarah menyebut satu korban bernama Mutiah, yang dikenal sebagai dalang perempuan saat peristiwa Gestapu," Yunantyo menjelaskan.
Ia menyatakan segera menelusuri keluarga korban yang meyakini kerabatnya menjadi korban pembantaian itu. Menurut Yunantyo, pengakuan keluarga korban tersebut bisa menjadi pintu untuk mengungkap identitas para korban lain yang dimakamkan secara massal di Kelurahan Wonosari itu.
Keberadaan kuburan massal korban 1965 sedang menjadi perhatian Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia. Lembaga yang baru dibentuk itu melakukan advokasi terhadap kuburan massal yang kemudian melaporkan ke Komnas HAM.
PMS-HAM memperkirakan terdapat 24 jenazah korban pembantaian setelah peristiwa Gestapu 1965 di dalam dua lubang. Yunantyo berharap jenazah-jenazah dalam kuburan itu dapat dikuburkan kembali secara layak. "Kami sudah melapor ke Komnas HAM untuk berkonsultasi apakah jenazah bisa dimakamkan secara layak," katanya.
Dorongan mengungkap keberadaan pemakaman korban kekerasan itu mendapat dukungan dari Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang. Para pegiat sejarah di Kota Semarang menilai para korban yang telah dikubur tak layak ini belum tentu tahu masalah Gestapu 1965.
"Para korban itu kadang hanya terseret dan hanya menjadi korban pembantaian massal. Padahal mereka belum tentu tahu persoalan sebenarnya," kata koordinator Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Rukardi Achmadi.
Menurut dia, para korban yang rata-rata masyarakat sipil itu terjerat kasus yang disebabkan oleh euforia politik. Mereka dituduh terlibat PKI kemudian dibunuh secara massal pada tahun berikutnya. "Situasinya saat itu sulit dan rumit. Siapa pun tidak mampu mengendalikan, termasuk mereka yang jadi korban," katanya.
Upaya pemakaman secara layak para korban pembantaian dinilai sebagai bentuk saling memaafkan. Dengan alasan, peristiwa masa lalu merupakan sejarah yang tidak dilupakan dan menjadi pelajaran generasi sekarang dan yang akan datang.