Sejumlah massa dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) menggelar aksi unjuk rasa penolakan perampasan tanah rakyat di kawasan Bundaran UGM, Yogyakarta, Kamis (12/01/2012). Mereka menyerukan kepada pemerintah untuk segera menghentikan berbagai kasus perampasan tanah rakyat dan segera dilakukannya audit legal dan sosial ekonomi terhadap Hak Guna Usaha Perkebunan (HGUP), Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Ijin Usaha Pertmbangan (IUP). TEMPO/Suryo Wibowo
TEMPO.CO,Jakarta - Sekretaris Jenderal Konsorium Pembaruan Agraria, Iwan Nurdin, mengatakan krisis agraria selama ini ditandai oleh beberapa masalah pokok.
"Salah satunya ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang sangat tajam," ujar Iwan di Wisma Antara, Jakarta, Senin, 22 September 2014. (Baca: LSM: 9 Program Reformasi Agraria untuk Jokowi-JK)
Menurut dia, masalah tersebut memicu konflik agraria dalam pengelolaan sumber daya alam, yang terjadi di mana-mana. "Tidak ada penyelesaiannya." Iwan juga menyoroti masalah kerusakan ekologis yang parah dan membuat layanan alam tidak dapat dinikmati rakyat. "Sampai sekarang semua belum beres."
Hal yang sama juga disampaikan Anwar Shadat, perwakilan Gerakan Petani Indonesia. Anwar mengatakan selama ini petani kerap dicap sebagai penjarah lahan. "Padahal mereka yang tidak bertanggung jawab itu yang suka merampas lahan rakyat," kata Shadat.
Karena itu, Anwar berharap, dengan adanya rencana pembentukan Kementerian Agraria, pemerintah mendatang dapat melindungi petani, mendistribusikan tanah, serta mengatasi konflik tanah yang masih banyak terjadi. (Baca: Kasus Agraria Meningkat di Masa Pemerintahan SBY)
Anwar berharap pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla dapat melindungi para pejuang agraria dan memulihkan status mereka yang jadi tersangka atau masuk daftar pencarian orang.
"Dan jalankan reformasi agraria dengan melibatkan organisasi tani," kata Anwar.