TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Monitoring Indonesia Corruption Watch Tama Satrya Langkun mengimbau Indonesia tak abai terhadap kasus suap Smith & Wesson ihwal pengadaan senjata api. Produsen senjata api asal Amerika Serikat itu dihukum lantaran terbukti melanggar Undang-Undang Anti-Korupsi Luar Negeri (FCPA) yang dikeluarkan pemerintah Negeri Abang Sam dengan menyuap sedikitnya lima negara.
"Apabila (Smith & Wesson) di Amerika sudah dijatuhkan hukuman dan terbukti melakukan kesalahan, maka harus jadi perhatian Indonesia," kata Tama kepada Tempo, Selasa, 29 Juli 2014.(Baca:Suap Aparat Indonesia, Perusahaan AS Didenda)
Ia mengaku tak tahu-menahu ihwal kasus yang melibatkan produsen senjata api terbesar di Amerika Serikat tersebut. "Saya baru tahu ini malah," ujar Tama. Menurut Tama, apabila terbukti melakukan tindakan suap di Amerika, perusahaan itu tak serta-merta dapat diproses di Indonesia karena ada perbedaan persepsi perihal jenis-jenis suap antara Indonesia dan Amerika. Namun ia menilai positif FCPA yang mempermudah penuntasan kasus korupsi di Indonesia.
Perusahaan Smith & Wesson didenda US$ 2 juta karena terbukti melakukan penyuapan di Pakistan, Indonesia, Turki, Nepal, dan Bangladesh. Selama 2007-2010, perusahaan yang bermarkas di Springfiled, Massachusetts, ini melakukan lobi ilegal terhadap otoritas lima negara tersebut agar dapat memenangi tender pengadaan senjata api, seperti dikutip dari Reuters. Aktivitasnya diketahui oleh US Securities and Exchange Commission, otoritas Amerika Serikat yang mengatur pasar modal, dan kasusnya diserahkan ke pengadilan.(Baca:Beli Senjata Api, Polisi Tak Kerja Sendiri)
Produsen senjata api yang terkenal di kalangan kepolisian dan militer ini pada 2008 diduga menyogok otoritas Pakistan senilai US$ 11 ribu dalam bentuk tunai dan pistol dinas bagi pejabat kepolisian setempat. Pada 2009, perusahaan itu diduga menyetujui penyuapan kepada kepolisian Indonesia untuk memenangi kontrak pengadaan senjata api, namun kerja sama akhirnya dibatalkan. Pada tahun-tahun berikutnya, perusahaan ini kembali melakukan negosiasi kotor dengan menggunakan jasa pihak ketiga di Turki, Nepal, dan Bangladesh.
REUTERS | DW.DE | DINI PRAMITA
Baca juga:
Ekor Kemacetan Puncak Terpantau Hingga Cipanas
Situs Berita Palsu Sama dengan Kampanye Hitam
Parkir Liar di Monas Kembali MarakAwas,
7 Situs Berita Indonesia Dipalsukan