Seorang ibu salah satu bagian dari Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar spanduk dalam melakukan aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Jakarta (20/3). Ibu yang anaknya adalah korban penembakan tragedi 98 menggelar spanduk yang berisikan menentang calon legislatif yang pro pada kasus pelanggaran HAM. Aksi ke-346 yang bertepatan dengan 16 tahun KontraS itu menunjuk belum tuntas penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu sebagai salah satu penyebab kasus-kasus kekerasan bermunculan terus. ANTARA/Fanny Octavianus
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia pada 1997-1998. Menurut mereka, orang nomor satu di Indonesia itu mempunyai hutang untuk menyelesaikan kasus tersebut sebelum masa jabatannya berakhir.
"SBY sudah diperintahkan melalui rekomendasi dari DPR untuk membuat keputusan presiden terkait pembentukan pengadilan HAM," kata Haris Azhar, anggota Koalisi sekaligus Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Selasa, 17 Juni 2014.
Haris menyatakan, selama hampir dua periode masa kepemimpinannya, SBY tidak juga melaksanakan rekomendasi dari DPR. Sikap SBY yang apatis plus pengembalian berkas-berkas penyelidikan dari Kejaksaan Agung ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menurut dia, merupakan preseden buruk dalam penanganan kasus HAM di Indonesia. "Jika SBY dan berbagai institusi hukum tidak mengambil inisiatif, mereka adalah bagian dari kejahatan manusia itu sendiri," ujarnya. (Baca: Imparsial Desak Prabowo Dibawa ke Peradilan HAM)
Tujuh berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM dikembalikan ke Komnas HAM. Alasan Kejaksaan Agung mengembalikan tujuh berkas itu adalah karena dianggap belum lengkap. Salah satu berkas yang dikembalikan yakni soal penghilangan paksa aktivis.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi sangat menyayangkan pengembalian berkas tersebut, terutama berkas penghilangan paksa aktivis. Padahal ada beberapa fakta menarik yang muncul. Contohnya, pengakuan mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Kivlan Zein. Dalam pengakuannya, Kivlan Zein mengaku mengetahui kondisi 13 aktivis yang hilang. (Baca: Kasus Prabowo Kontras Harus ke Pengadilan HAM)
Menurut Hendardi, surat pemecatan Prabowo dari militer yang beredar beberapa waktu lalu secara jelas menggambarkan kesalahan yang pernah dilakukannya itu. "Dan pernyataan Prabowo Subianto di hadapan Pepabri yang bersedia diklarifikasi terkait dengan peristiwa 1998. Jadi, ada apa dengan Kejagung?" ujarnya. (Baca: Penculikan Aktivis, Kivlan: Bentuk Pengadilan HAM)