Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mendesak Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengklarifikasi pernyataan maafnya ke Singapura terkait dengan penamaan Kapal Republik Indonesia Usman Harun. Publik disebut resah dengan pernyataan Moeldoko yang seolah menyerah dengan Singapura.
Permintaan maaf yang dimaksud oleh Hikmahanto itu adalah pernyataan Moeldoko ketika diwawancarai oleh televisi Singapura Channel NewsAsia. Sebetulnya, kata Hikmahanto, ada dua tafsir dalam permintaan maaf Moeldoko tersebut. Pertama, Moeldoko atas nama pemerintah RI meminta maaf kepada Singapura--diterjemahkan sebagai “regret” dalam bahasa Inggris yang memiliki implikasi diplomatik.
Tafsir kedua, kata Hikmahanto, sebagaimana orang Indonesia yang hendak berbicara keras, biasanya akan didahului oleh kata maaf, sepadan dengan “pardon me” dalam bahasa Inggris. (Baca: KRI Usman, Moeldoko Bantah Minta Maaf ke Singapura)
“Saat ini kata 'mohon maaf' dari Panglima TNI oleh News Asia diterjemahkan sebagai 'regret' alias penyesalan. Ini yang kemudian dikapitalisasi oleh para pejabat Singapura,” kata Hikmahanto.
Kapitalisasi itu, kata Hikmahanto, bisa dilihat dari tanggapan Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen yang menyatakan Singapura bisa menerima permohonan maaf Indonesia. Singapura pun menyatakan bersedia bekerja sama lagi di bidang pertahanan dengan Indonesia. “Dalam konteks inilah Panglima TNI harus melakukan klarifikasi atas pernyataan ‘mohon maaf’-nya sehingga publik di Indonesia tidak merasa dikhianati,” kata Hikmahanto.
Polemik penamaan kapal perang Usman Harun oleh Indonesia sempat menimbulkan polemik hubungan kedua negara beberapa waktu lalu. Singapura menganggap Indonesia keliru ketika menamai kapal perangnya dengan dua orang yang dianggap sebagai teroris oleh Singapura. (Baca: KRI Usman-Harun Bakal Berlayar di Indonesia Timur)
Sementara di Indonesia, dua prajurit TNI AL era Presiden Soekarno merupakan pahlawan yang gugur saat menjalankan tugas infiltrasi di era ganyang Malaysia pada 1965.