Senin (18/11), Presiden SBY memerintahkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa untuk memanggil pulang duta besar Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat. Langkah ini diambil sebagai langkah tegas Indonesia atas kasus penyadapan Australia. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bakal meninjau kembali sejumlah kerja sama bilateral yang dijalani dengan Australia menyusul laporan penyadapan yang dilakukan intelijen Negeri Kanguru terhadap Indonesia. "Sejumlah isu penting tentu akan juga kami lihat urgensinya," kata juru bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, di gedung Bina Graha, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 19 November 2013.
Menurut dia, sejumlah kerja sama yang bakal ditinjau berkaitan dengan hal-hal bersifat strategis yang dijalani kedua negara selama ini. Namun Julian enggan berkomentar ihwal kelanjutan sejumlah kontrak kerja sama yang telah disepakati dengan Australia. "Nanti kami lihat turunannya. Saya tidak tahu persis," ujarnya. "Tapi yang jelas bahwa akan ada overview terhadap kebijakan strategis kita."
Laporan penyadapan Australia terhadap Indonesia pertama kali dimuat dalam harian Sydney Morning Herald pada 31 Oktober 2013. Harian itu memberitakan keberadaan dan penggunaan fasilitas penyadapan di Kedutaan Besar Australia di Jakarta dan negara-negara lain. Laporan itu juga menyebutkan penggunaan fasilitas penyadapan di Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta.
Laporan terkini dari lansiran media berita Australia itu menyebutkan bahwa penyadapan dilakukan Australia terhadap SBY selama 15 hari pada Agustus 2009. Selain SBY, penyadapan dilakukan terhadap Ibu Negara Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan sejumlah menteri. Kesemua laporan itu berdasarkan pada bocoran dokumen dari mantan intelijen AS, Edward Snowden.