Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) non aktif Akil Mochtar pernah mendorong seorang wartawan karena geram dengan pertanyaannya saat akan diperiksa di gedung KPK, Jakarta (3/10). Saat itu Akil akan diperiksa mengenai suap yang diterimanya selama menjabat di MK. Tempo/ Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, mengatakan ada dua modus suap yang dipakai oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Pertama adalah menjual putusan yang sudah ditetapkan kepada pihak yang beperkara. “Cara ini memanfaatkan ketidaktahuan pihak yang beperkara,” kata dia kemarin.
Modus kedua, Akil memanfaatkan kekhawatiran pemohon dan termohon perkara. Pihak yang menang dalam pemilihan khawatir kalah di Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya, pihak yang keok dalam pemilihan khawatir kekalahannya berlanjut di Mahkamah. “Akhirnya, pihak yang memberikan uang yang paling banyak itu yang dimenangkan,” ujar Oce.
Berdasarkan penelusuran Tempo, Akil diduga menggunakan berbagai trik untuk meminta imbalan uang dari pihak-pihak yang bersengketa. Misalnya, Akil meminta imbalan uang untuk mengamankan pemenang pemilihan kepala daerah dalam sengketa di Mahkamah Konstitusi. Modus ini terungkap dalam sengketa pemilihan Bupati Gunung Mas.
Dalam pemilihan kepala kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah itu, Hambit Bintih, yang berpasangan dengan Arton S. Dohong, tampil sebagai pemenang. Namun kemenangan itu digugat oleh lawan-lawannya ke Mahkamah Konstitusi. Hambit, yang takut kalah di Mahkamah, diduga memberikan sejumlah uang kepada Akil.
Modus Akil menjadi laporan utama Koran Tempo edisi hari ini. Selengkapnya sila klik di sini untuk versi web langganan, di sini untuk versi iPad, dan untuk versi PDF eceran sila keTempo Store.