Ketua Umum Partai Hanura Wiranto (kiri) dan Ketua Fraksi Partai Hanura, Sunardi Ayub. TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Ada yang unik dari kunjungan studi banding 11 anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat ke Deutsches Institut fur Normung (DIN) di Burggrafenstrabe, Berlin, Jerman, Senin lalu. Pada studi banding hari pertama tersebut, selama 60 menit, para anggota Badan Legislasi mendapat pemaparan dari DIN.
"Penjelasan DIN pertama kali adalah bahwa mereka tidak menangani standardisasi kompetensi profesi, tapi standardisasi produk dan proses produksi," ujar salah seorang anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia Berlin, Alavi Ali, yang mengikuti pertemuan tersebut. Padahal, maksud studi banding ke Jerman adalah menggagas Rancangan Undang-Undang Keinsinyuran.
Menurut Alavi, pejabat DIN mengatakan bahwa mereka juga tidak berkapasitas dalam bidang legislasi. Sebab, DIN lebih berfokus pada riset dan edukasi. "Mereka menjelaskan bahwa DIN hanya berhubungan dengan pihak legislatif ketika akan menentukan apa-apa saja yang perlu distandardisasi," ujar Alavi.
DIN melanjutkan penjelasan berikutnya lewat tampilan power point. "Banyak penjelasan DIN yang dilewati karena terlalu teknis," kata Alavi. Selesai pemaparan, diskusi dilanjutkan dengan tanya-jawab hingga pukul 12.00.
Alavi berujar, 15 menit sebelum pertemuan berakhir, politikus Partai Hanura, Sunardi Ayub, yang menjadi ketua rombongan merangkum hasil pertemuan. "Sunardi pada intinya sadar bahwa mereka salah alamat. Di akhir, ia menyimpulkan bahwa DIN tidak berkaitan dengan standardisasi profesi seperti insinyur," ujar Alavi.
Seusai acara, anggota Badan Legislasi turun dan disambut Atase Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia di Jerman, Agus Rubiyanto. "Saya dengar sedikit, kasak-kusuk, Sunardi tampak marah pada Agus. Soalnya mereka salah alamat," ujar dia.
Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas
5 hari lalu
Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi meminta pemerintah untuk mencari langkah antisipatif untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, salah satunya adalah dengan cara menyisir belanja tidak prioritas.