TEMPO Interaktif,
Jakarta: Wacana permintaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar pemerintah membuat payung hukum untuk mengantisipasi pemilihan umum (Pemilu) lanjutan terus bergulir. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra kembali menegaskan, rancangan peraturan pemerintah pengganti undang undang (Perpu) sudah diserahkan ke Sekretariat Negara. Pada intinya, Perpu hanya menambah satu kata pada pasal 119 Undang Undang nomor 12/2003 tentang Pemilu: yang tadinya berbunyi, "Pemilu lanjutan bisa dilaksanakan karena tiga hal yaitu, karena gangguan keamanan, bencana alam dan kerusuhan", ditambahkan satu hal lagi, "keterlambatan logistik". "Saya diminta membuat
draft itu lantaran kesalahan-kesalahan yang KPU lakukan," kata Yusril, di Jakarta, Selasa (30/3).Menurut Yusril, KPU jelas telah melanggar UU: logistik yang seharusnya sudah sampai di tempat pemilihan suara (TPS) pada H-10, ternyata tidak dipenuhi KPU. Artinya, pada 26 Maret 2004, seharusnya penyediaan logistik sudah harus selesai. Sebenarnya, KPU tidak bisa menunda Pemilu begitu saja berdasarkan tiga hal yang disebutkan UU Pemilu itu. Tapi Perpu akan muncul, seperti dikatakan Yusril, "menjadi kesalahan yang dilegalkan". Lahirnya Perpu pemilihan lanjutan tentunya menuai protes dari berbagai partai politik (parpol). Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) misalnya. Menurut Ketua Dewan Syuro PKB, Abdurahman Wahid yang biasa dipanggil Gus Dur, KPU telah melanggar UU Pemilu soal batas akhir penyediaan logistik Pemilu. Sehingga, lahirnya Perpu hanyalah merupakan upaya cuci tangan KPU dari tanggung-jawabnya. Bahkan, KPU dinilai telah lalai mengamankan distribusi surat suara dengan beredarnya surat suara palsu di masyarakat. "Yang bersalah harus minta maaf. Apa artinya payung hukum, jika telah terjadi pelanggaran," kata Gus Dur. Kecaman terhadap KPU juga datang dari tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menurut seorang petinggi PDIP, Roy BB Janis, KPU berada dalam posisi pelaku dosa terbesar, jika Pemilu sampai gagal lantaran keteledoran kerja KPU sendiri. Konsekuensinya, kedudukannya harus diganti, lalu KPU sendiri harus diperiksa dan diadili sesuai aturan hukum yang berlaku. "KPU harus memberikan pertanggung-jawaban ke publik dan hukum secara terbuka. Hanya dengan itu, parpol dan masyarakat bisa memaklumi dan memaafkan KPU," kata Roy. Menurut Roy, permintaan payung hukum adalah upaya
faith accomply KPU untuk menutupi kesalahannya. "Ini namanya mencari legitimasi untuk kesalahan yang dilakukan," kata Roy dengan nada tinggi. Kegeraman Roy itu tertumpah, lantaran menurutnya KPU juga gagal mendata pemilih yang ternyata terbukti ada jutaan calon pemilih yang tidak terdata. Selain KPU, menurut petinggi Partai Nasional Indonesia PNI Marhaenisme, Lukman Sukito, pemerintah juga andil dalam kekacauan ini. Karena pemerintah juga seharusnya mengantisipasi segala kemungkinan termasuk soal pemilu susulan. "Tapi, KPU dan pemerintah sama-sama percaya dirinya. Lagi-lagi, rakyat dirugikan dan dibohongi," kata Lukman.Walau demikian, menurut Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah memang harus segera mengeluarkan Perpu itu. "Dipakai atau tidak, tergantung KPU," kata Jimly. Karena Perpu itu adalah fasilitas bagi KPU, jika distribusi logistik belum juga selesai pada hari-H pelaksanaan Pemilu. Sehingga tidak ada masalah jika Perpu dikeluarkan, karena setelah Perpu keluar KPU bisa segera menentukan pelaksanaan Pemilu itu secara jelas. Kapan Perpu keluar, menurut Wakil Presiden Hamzah Haz, jika KPU sudah menyatakan perlu dilakukan pengunduran waktu. "Sampai saat ini, KPU masih menyatakan pelaksanaan Pemilu pada 5 April 2004," kata Hamzah Haz, di Yogyakarta. Diakui Hamzah, KPU memang sudah melanggar ketentuan yang ada, khususnya mengenai keterlambatan logistik. Tapi menurut Gus Dur, setiap keputusan pengunduran Pemilu tidaklah hanya melibatkan KPU dan Pemerintah, tapi juga 24 partai peserta Pemilu dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika pemerintah memaksakan mengeluarkan Perpu secara sepihak, Pemilu akan cacat hukum. "Hasilnya pun juga menjadi cacat hukum," kata Gus Dur. Walau demikian, Gus Dur menyatakan, PKB tidak akan memboikot Pemilu. "Hanya akan menjadi catatan, telah terjadi pelanggaran," katanya lagi. Bicara soal tindakan hukum yang harus diterima KPU lantaran melanggar ketentuan perundang-undangan, menurut Hamzah, DPR
lah yang berwenang mencopot atau mengganti Ketua KPU. Ketika ditanya, apakah anggota KPU harus dipenjarakan untuk itu, Hamzah hanya menjawab, "bagaimana hukum yang berlaku saja". Secara tegas, Roy BB Janis justru meminta anggota KPU untuk diadili. "Ini konsekuensi hukum, karena mereka nyata-nyata melanggar hukum. Jangan hanya pertanggung-jawaban moral dengan hanya menyatakan mundur dari keanggotanan KPU," katanya.
Ecep S. Yasa, Fitri Oktarini, Poernomo G. Ridho, Sapto Pradityo, Syaiful Amin - Tempo News Room