Bonar mengatakan pada tataran tertentu memang terdapat pembatasan HAM sebagai konsekuensi tak terhindarkan atas berlakunya undang-undang intelijen. Apalagi dalam rancangan ini intelijen memiliki kewenangan lebih luas dan bisa mengambil tindakan terhadap pihak yang dicurigai.
Pembentukan dan penyelenggaraan kegiatan intelijen mengacu pada Instruksi Presiden No. 5 tahun 2002 tentang Koordinasi Intelijen oleh Badan Intelijen Negara. Peraturan ini hanya memuat tiga butir substansi yang dinilai tak jelas dan tak tegas hingga perlu ditingkatkan menjadi undang-undang.
Bonar mengatakan persoalan badan intelijen dan HAM menjadi sorotan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan masyarakat internasional, khususnya terkait pencegahan terorisme. Meski belum ada standar internasional tentang kerja badan intelijen, kata Bonar, ada kesepakatan bahwa badan intelijen harus mematuhi prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.
Peneliti Setara Ismail Hasani mengatakan RUU Intelijen mengandung banyak potensi kriminalisasi. Ia mencontohkan jika ada seseorang yang dianggap mengetahui tindak terorisme dan tak melapor, bisa dikenai hukuman penjara selama tujuh tahun. "Jika tindak terorisme itu benar-benar terjadi, hukuman bisa ditambah menjadi 12 tahun," katanya. Sementara definisi mengetahui tindak terorisme itu juga belum jelas.
Contoh lain adalah tindakan menyebarkan kebencian atau permusuhan yang bisa merangsang tindak terorisme juga bisa dikenai hukuman. Ismail sepakat intoleransi adalah titik mula tindak terorisme, tapi tidak semua tindak intoleransi bisa diklasifikasi sebagai tindak terorisme.
"Kalau begini ada orang yang bilang 'Mari kita ganti Pancasila dengan syariat Islam' sudah bisa dianggap terorisme," katanya. Ia menilai batasan tindak terorisme harus jelas. Jika tindakan itu tidak termanifestasi dalam bentuk kekerasan, tidak perlu dimasukkan ke dalam tindak terorisme.
KARTIKA CANDRA