TEMPO Interaktif, Bandung - Kebebasan beragama di Indonesia kini terancam. Menurut budayawan Franz Magnis Suseno, ada sekelompok orang yang secara sistematis menyebarkan kecurigaan, bersikap tertutup, picik dan menyebarkan kebencian atas nama agama. Sedangkan negara malah melakukan pembiaran.
"Alat negara malah mundur ketika ada kekerasan atas nama agama," katanya di sela acara Seminar Interfaith Dialogue di Universitas Katolik Parahyangan Bandung Sabtu 7 Mei 2011. Menurut pria yang akrab disapa Romo Magnis ini, negara dituntut memberikan "zero tolerance" terhadap kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Pembicara lain di seminar itu, Siti Musdah Mulia, Ketua Dewan Pengurus Harian Indonesian Conference on Religion and Peace mengatakan hal senada. Menurutnya, kelompok radikal yang ada di Indonesia memanfaatkan kegagalan pemerintahan untuk mengkampanyekan ideologinya.
Kegagalan pemerintah, paparnya, dikampanyekan sebagai kegagalan negara sekuler. “Setiap kali ada kegagalan pemerintah, atau pemerintah melakukan kesalahan, itu digunakan untuk membenarkan tesis mereka,” kata pengajar Pascasarja UIN Syarif Hidayatullah ini.
Musdah mengatakan, kelompok radikal yang tumbuh saat ini, merupakan “produk haram” dari demokrasi. Dia mencontohkan, di jaman Presiden Suharto yang cenderung represif, kelompok ini tidak bisa berkembang. Kelompok itu, paparnya, justru bisa berkembang di era demokrasi saat ini. Dia mencontohkan, aksi radikalisme hingga terorisme justru muncul setelah reformasi.
“Struktur hukum yang ada, tidak cukup menangani kelompok ini, padahal kita punya aturan yang jelas, semua orang boleh menyatakan pendapat tapi cara yang digunakan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi,” kata Musdah.
AHMAD FIKRI