Minimnya perlindungan di UU itu menurutnya terlihat dari tiga hal. Pertama soal pengurangan hukuman yang hanya berlaku bagi mereka yang memberikan kesaksian di persidangan saja. Kedua, sifat perlindungan yang bersifat fakultatif bukan kewajiban. "Ketiga tidak dapat diprediksi apakah pengurangan itu dapat diperoleh atau tidak," jelasnya.
Untuk mendorong agar para whistle blower itu mau mengungkapkan kasusnya ke penegak hukum maka seharusnya mereka diberikan reward. Pemberian reward itulah yang menjadi usulan dari Satgas PMH atas revisi UU tentang perlindungan saksi dan korban.
Sebab, Satgas melihat untuk memberantas kejahatan yang terorganisir maka dibutuhkan perangkat hukum yang memadai terhadap whistle blower maupun pelaku yang bekerjasama."Penghargaan ini bisa immunity, penghapusan hukuman maupun pengurangan hukuman," ungkap Ota panggilan akrab Mas Ahmad.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Abdul Haris Semendawai mencontohkan pada pasal 10 ayat 2 yang mengatakan seorang whistle blower dapat diberikan keringanan hukum apabila memberi kontribusi terhadap kasus. "Tapi hal itu sangat tergantung pada hakim dalam menilai kasusnya," ungkap Abdul.
Hal lain adalah perlakuan kepada whistle blower terkait dengan kasus yang menjeratnya. Akan tetapi whistle blower itu malah yang lebih dulu dijerat, "Yang dilaporkan malah belakangan," tuturnya.
RIRIN AGUSTIA