Antropolog Anggap Wajar Penolakan Gelar Raja Batak untuk SBY
Minggu, 16 Januari 2011 20:22 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan, Usman Pelly berpendapat, raja di kalangan Batak berbeda dengan raja di Jawa. “Kalau di Jawa, raja itu memiliki perangkat, keraton (kerajaan), wilayah dan pasukan,” kata Usman dalam percakapannya kepada Tempo, Ahad 16 Januari 2011.
Pendapat ini disampaikan Usman menyusul penolakan ratusan pemuda dan pemudi yang mengklaim turunan raja Batak di Sumatera Utara. Ratusan massa yang mengatasnamakan Partungkuoan Naposo Bangsa Batak ini, Ahad sore memulai aksi damainya di depan Tugu Sisingamangaraja XII, Jalan Sisingamangaraja, Medan.
Massa menuding rencana gelar Raja Batak kepada SBY sebagai bentuk politisasi oleh Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi. “Jangan Raja Batak ini dipolitisasi,” kata Riko Sihombing, salah satu pengunjuk rasa kepada Tempo.
Riko mengklaim massa yang melakukan aksi damai berjumlah 200 orang, juga bagian turunan dari raja-raja di Tanah Batak, yakni dari Kabupaten Toba, Toba Samosir, Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan. “Aksi serupa akan kami lakukan Senin (besok), di DPRD Sumatera Utara dan Kota Medan,” akunya.
Riko beralasan, penolakan karena sebagai presiden, SBY belum memakmurkan warga di Tanah Batak. " Raja Batak yang nyata itu adalah Sisingamangraja XII" ujarnya. .
Menurut Usman, pengertian raja di suku Batak lebih kepada kualitas orang tersebut. “Raja itu, substansinya di kalangan Batak, kualitas dirinya. Spritual dan menjadi imam,” ujarnya.
Istilah raja pun, lanjut Usman, cukup beragam. “Raja Didongan, maksudnya adalah raja teman-orang yang dapat mengayomi temannya. Juga ada Raja Nibondir, yakni raja petani yang menguasai soal pertanian,” kata Usman.
Karenanya, menurut Usman, aksi protes terhadap rencana gelar itu, kata Usman, hal yang wajar. “Karena di kalangan Batak raja itu banyak dan masih ada turunannya. Jadi setidaknya harus diomongi dulu. Dan ini, juga perlu siapa inisiatif pemberi gelar itu,” kata Usman.
SOETANA MONANG