Polemik Keistimewaan Yogya, Masalah Personal SBY-Sultan
Reporter
Editor
Rabu, 15 Desember 2010 20:47 WIB
Puluhan ribu massa pendukung keistimewaan berjalan dari Alun-alun Utara menuju gedung DPRD Provinsi DIY Yogyakarta, Senin (13/12). Mayoritas masyarakat Yogyakarta mendukung keistimewaan dengan menetapkan Sultan HB X dan Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur. TEMPO/Arif Wibowo
TEMPO Interaktif, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa, Lukman Edy mencurigai berlarutnya polemik tentang keistimewaan Yogyakarta tak lepas dari persoalan personal antara Sultan Hamengku Buwono X dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dia menyarankan ada pihak ketiga yang bertugas mendamaikan.
"Persoalan DIY bukan hanya persoalan keistimewaan, tapi persoalan pribadi Presiden SBY dan Sri Sultan. Saya dengar memang sangat sulit untuk diselesaikan," kata Lukman dalam Diskusi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu 15 Desember 2010.
Lukman menilai sosok mediator yang tepat adalah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas. Taufik, kata dia, cocok baik diukur dari kelembagaan maupun personal meski MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. "Semua penyelesaian persoalan ujung-ujungnya bermuara di MPR," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR, Ganjar Pranowo juga mendesak Pemerintah segera menyampaikan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY. Dia menilai berlarutnya polemik ini karena Pemerintah terus menunda dan masyarakat juga tidak jelas mendapatkan informasi. "Kami minta RUU itu segera disampaikan untuk dibahas," katanya.
Menurut Ganjar, pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi soal konsep keistimewaan di Yogyakarta juga sering berubah-ubah. Meski dia mengakui soal konsep Gubernur Utama dan Parardhya hanya beda istilah.
Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas
5 hari lalu
Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi meminta pemerintah untuk mencari langkah antisipatif untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, salah satunya adalah dengan cara menyisir belanja tidak prioritas.