Perayaan Hari Anak Nasional: Perjalanan dan Harapan bagi Anak Tuli
Rabu, 24 Juli 2024 14:17 WIB
INFO NASIONAL - Hari Anak Nasional menjadi pengingat dalam menjamin hak dan perlindungan bagi seluruh anak di Indonesia. Negara sudah menjamin hal ini dalam UUD 1945 pasal 28.
Nissi Taruli Felicia, Co-Founder dan Direktur Eksekutif FeminisThemis, memandang hak tersebut belum sepenuhnya dinikmati oleh anak-anak penyandang disabilitas.
Nissi menceritakan pengalamannya bertumbuh besarr sebagai penyandang Tuli. "Saya tidak bisa memastikan apakah saya terlahir tidak bisa mendengar, hingga rasa bingung saat saya belajar di kelas dan didiagnosa secara medis ketika saya berusia 7 tahun, " tulisnya.
Nissi harus beradaptasi karena dianggap “berbeda”. Saat teman-teman bebas bermain seusai jam sekolah, ia harus menjalani Auditory Verbal Therapy sambil melatih menggunakan alat bantu dengar:
"Benda asing yang sangat tidak nyaman bagi saya. Di waktu yang sama, terapis wicara saya juga memaksa agar saya bisa berbicara, hal ini merupakan pengalaman paling tidak mengenakan, " ucap Nissi.
Divonis mengalami speech delay dan didiagnosa tidak bisa mendengar seperti desibel yang tipikal, Nissi diarahkan untuk pindah dari SD umum Katolik ke Sekolah Luar Biasa (SLB).
Namun, ibunya tidak setuju dan percaya Nissi sanggup belajar di sekolah umum. Kendati harus menerima risiko dirundung teman sekolah, orang tua dan guru terus mendukungnya mengikuti berbagai lomba agar bisa jadi pribadi yang kompetitif, mandiri, dan mampu mengenal dunia. "Pengalaman ini mendasari jiwa kepemimpinan dalam diri saya, " kata Nissi.
Saat melanjutkan pendidikan ke SMP, Nissi mulai mengenal konsep mayoritas dan minoritas. "Menyadarkan bahwa saya adalah triple minoritas (perempuan, tidak bisa mendengar, dengan agama minoritas), " ujar Nissi.
Konsep mayoritas-minoritas ini membuat ibunya berpikir ulang. Setelah kelulusan SMP, Nissi akhirnya masuk ke SMA Katolik. Di masa inilah, Nissi merasakan berbagai pengalaman berkesan.
Ia mengikuti ekskul Public Speaking yang melatih kemampuan berbicara di depan umum, menyampaikan pendapat, sehingga lebih berani memiliki mimpi dan berupaya mewujudkannya.
"Di bangku kuliah, perjalanan dimulai dalam mengenal dunia disabilitas. Jujur, tadinya saya tidak mengenal istilah kata 'disabilitas', saya hanya tahu bahwa saya tidak bisa mendengar, " tutur Nissi.
Pengenalan dengan istilah itu justru membuatnya jadi koordinator acara kampus tentang komunitas Tuli. Pengalaman ini membuatnya membuka mata, bahwa banyak orang Tuli yang tidak memiliki kesempatan untuk berpengetahuan luas, berpikir kritis, dan hidup mandiri seperti dirinya.
"Namun, di sisi lain saya juga dipertemukan dengan orang-orang Tuli yang hebat. Untuk lebih memahami Dunia Tuli, saya mulai belajar bahasa isyarat serta bergabung di organisasi Tuli. Kami banyak berdiskusi akan tantangan bagi teman-teman Tuli dan isu perempuan, " kisah Nissi.
Salah satu temuan yakni minumnya akses informasi kesehatan reproduksi dan tidak aksesibel. Hal ini berimbas pada minimnya pencatatan kekerasan berbasis gender yang menimpa perempuan Tuli.
Temuan tersebut membuat Nissi gelisah. Sehingga pada 2021 ia dan dua temannya mendirikan komunitas Tuli bernama FeminisThemis. Fokus komunitas ini, Nissi bercerita, spesifik pada isu feminisme, kekerasan berbasis gender, media informasi kesehatan reproduksi yang aksesibel, serta menjembatani para feminis untuk mengenal dunia Tuli.
Nissi kemudian mencari berbagai bentuk pendanaan atau program seperti YSEALI (Youth South-East Asia Leadership Initiative) Academic Fellowship dan program Every U Does Good Heroes (EUDGH) yang digagas Unilever Indonesia. Berkat kemitraan dan pendanaan dari YSEALI dan EUDGH, FeminisThemis semakin dikenal dan banyak mendapatkan dukungan.
"Dengan berbagai program yang telah membawa dampak untuk ±1.000 Tuli, saya percaya FeminisThemis memiliki potensi yang berkelanjutan. Komunitas ini kelak bisa menjadi referensi untuk Tuli lebih berdaya, berani, dan mau melawan kekerasan seksual di komunitas Tuli. Bahkan, saya yakin FeminisThemis bisa menjadi sumber yang ideal dan teman diskusi tentang dunia Tuli untuk berbagai perusahaan seperti Unilever, pemerintah Indonesia, juga berbagai stakeholder yang memiliki peran besar untuk ekosistem Tuli yang inklusif, " tutur Nissi.
Terkait Hari Anak Nasional, Nissi menjabarkan upaya pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak harus memperhatikan empat prinsip, yakni (1) Non-diskriminasi; (2) Kepentingan terbaik bagi anak; (3) Hak hidup dan keberlangsungan hidup; (4) Penghargaan terhadap pendapat anak.
Menurut Nissi, poin keempat paling penting. Pasalnya, anak Tuli memiliki komunikasi yang beragam. Tidak semua bisa berbahasa isyarat ataupun berbicara verbal. Karena itu, menghargai pendapat anak meskipun cara komunikasinya berbeda harus diperhatikan, karena tidak semua anak di dunia ini tipikal.
"Anak dengar harus menyadari bahwa di dunia ini bukan hanya ada mereka saja. Termasuk semua orang tua dengan anak tipikal harus mengajarkan anak untuk tidak mendiskriminasi anak dengan disabilitas," ucap Nissi.
Anak dengan disabilitaa, Nissi melanjutkan, berhak mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak sampai pertemanan yang berharga.
UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities menantang pemerintah untuk mengakui pentingnya bahasa isyarat dalam mendukung identitas budaya dan bahasa yang beragam dari penyandang disabilitas Tuli. Konvensi ini juga menyatakan hak semua penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses pembelajaran seumur hidup dalam pengembangan potensi manusia secara penuh.
"Dalam konteks pendidikan, saya berharap para praktisi juga menjunjung tinggi prinsip-prinsip ini dan memastikan bahwa anak-anak Tuli memiliki akses terhadap pendidikan yang beragam dan inklusif tanpa diskriminasi, " ujarnya.
Caranya, menurut Nissi, dengan menerapkan praktik pedagogis berbasis bukti dan memastikan bahwa penyandang Tuli dapat berkontribusi pada pengembangan kebijakan pendidikan.
"Kita harus ingat bahwa bahasa pertama yang kuat, berperan penting dalam mendukung kemampuan anak-anak Tuli untuk belajar dan berkembang secara maksimal; tanpa akses ini, hak-hak anak-anak Tuli tidak dapat terpenuhi, " kata Nissi.
Nissi telah membuktikan sebagai penyandang Tuli bisa terus berkembang. Ia tidak pernah menyangka bisa menjadi pemimpin di komunitas Tuli. Berkat dukungan banyak orang seperti orang tua, guru, dan pihak lainnya, Nissi dapat mencapai posisinya saat ini.
"Saat ini saya berencana melanjutkan studi magister di bidang Diversity, Equity, and Inclusion, namun masih harus berjuang untuk beasiswa. Semoga cita-cita ini dapat tercapai, sehingga saya bisa terus berkontribusi pada kemajuan anak-anak Tuli di Indonesia serta kebijakan Tuli yang progresif di Indonesia, " Nissi memungkas. (*)