Penelitian Ungkap Dampak Positif Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) pada Remaja
Senin, 1 Juli 2024 18:10 WIB
INFO NASIONAL - Penelitian Global Early Adolescent Study atau GEAS yang diungkapkan oleh Universitas Gadjah Mada, Johns Hopkins University, Karolinska Institutet, bekerjasama dengan Rutgers Indonesia (sekarang Yayasan Gemilang Sehat Indonesia - YGSI) membuktikan, Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (PKRS) komprehensif bernama SETARA (Semangat Dunia Remaja) di kalangan remaja, sukses menciptakan dampak positif yang signifikan.
Studi ini menunjukkan bahwa remaja yang menerima SETARA memiliki kemampuan yang lebih baik dalam membahas Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).
Tidak hanya memahami konsep dasar seperti kontrasepsi, pubertas, penyakit menular seksual, mereka juga lebih terampil dalam mengkomunikasikan isu dengan teman sebaya bahkan orang dewasa dan lebih percaya diri dalam membahas topik HKSR bahkan setelah dua tahun. Efek positif ini juga meluas lewat sikap terhadap gender dan kekuasaan dalam konteks interpersonal. Dampak positif ini terbukti bertahan dalam jangka waktu yang panjang.
Ini menjadi bukti pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif memberikan dasar yang kuat bagi remaja dalam menghadapi tantangan kompleks terkait seksualitas dalam kehidupan mereka.
Para peneliti yang terlibat menegaskan potensi transformatif dari PKRS yang komprehensif di Indonesia, serta memberikan dampak jangka panjang pada kesehatan dan kesejahteraan remaja. Temuan ini juga menekankan pentingnya memulai PKRS sejak dini.
Investasi dalam pengetahuan dan keterampilan ini diyakini dapat membantu remaja dalam mengelola aspek-aspek penting dalam kehidupan mereka seperti perawatan diri saat pubertas, pengelolaan emosi, mengatasi permasalahan dalam percintaan, serta hubungan interpersonal, termasuk kemampuan dalam pengambilan keputusan yang lebih sehat dan untuk mengurangi perilaku seksual berisiko.
Adapun penelitian GEAS bertujuan untuk memahami bagaimana sosialisasi gender dan proses sosial lain mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan remaja awal, untuk melihat dampak dari pendidikan kesehatan seksualitas komprehensif SETARA serta untuk memberikan informasi kepada pembuat kebijakan, orang tua, guru, pembuat program, peneliti dan para remaja dalam perencanaan dan pelaksanaan program dan layanan remaja.
Penelitian ini telah dilakukan selama dua tahun dengan sasaran remaja usia 12-14 tahun di SMP yang berlokasi di tiga tempat berbeda, yakni Bandar Lampung, Semarang, dan Denpasar, dari 2018 hingga 2022.
Salah satu peneliti senior Universitas Gadjah Mada, Siswanto Agus Wilopo mengatakan, GEAS tidak hanya menjadi proyek penelitian yang inovatif, tetapi juga memiliki implikasi langsung pada upaya meningkatkan kualitas pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas di lingkungan pendidikan.
“Riset longitudinal ini memungkinkan kita untuk memahami bagaimana modul pembelajaran pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas berbasis hak bernama SETARA secara positif mempengaruhi kehidupan para remaja, serta memberdayakan mereka untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat terkait kesehatan reproduksi dan seksual mereka,” ujarnya.
Tantangan Implementasi PKRS di Indonesia
Di Indonesia, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi seringkali dipandang sebagai topik sensitif dan kontroversial. Masyarakat konservatif dengan pandangan tradisional tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi sering kali menentang penyediaan pembelajaran terkait topik ini. Pandangan ini menghambat upaya untuk memperkenalkan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif di sekolah-sekolah dan masyarakat luas.
Kurangnya integrasi PKRS dalam kurikulum pendidikan formal merupakan salah satu hambatan terbesar. Banyak sekolah di Indonesia belum memasukkan topik ini ke dalam program pembelajaran mereka, sehingga remaja tidak mendapatkan informasi yang mereka butuhkan secara formal dan terstruktur. Akibatnya, banyak remaja yang tidak memiliki pengetahuan dasar yang akurat dan komprehensif tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas, yang sangat berperan dalam membantu mereka melindungi diri dari risiko kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular seksual, dan masalah kesehatan reproduksi dan seksual lainnya.
Direktur Yayasan Gemilang Sehat Indonesia, Ely Sawitri, menekankan pentingnya akses informasi yang akurat dan terpercaya bagi remaja, terutama di daerah pedesaan atau terpencil. "Kurangnya akses terhadap informasi yang benar dan terpercaya adalah tantangan besar. Tanpa akses yang memadai, remaja sering kali memperoleh pengetahuan dari sumber yang tidak dapat diandalkan, seperti internet atau teman sebaya,” katanya.
Menurutnya, kondisi ini diperburuk oleh kurangnya program edukasi yang dapat dijangkau semua remaja. Oleh karena itu, kata dia, sangat penting memastikan semua remaja di Indonesia memiliki akses yang setara terhadap pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif dan berbasis hak.
Perlu Dukungan Pemerintah
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan dukungan yang lebih kuat dari pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mendukung integrasi PKRS ke dalam kurikulum nasional. Kebijakan ini harus didukung oleh panduan dan modul pembelajaran yang terstandarisasi, serta pengawasan ketat untuk memastikan implementasinya di seluruh sekolah. Tanpa dukungan kebijakan yang jelas, upaya untuk mengintegrasikan PKRS ke dalam pendidikan formal tidak akan maksimal.
Pelatihan yang memadai bagi para pendidik juga sangat penting. Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas sering kali dianggap sebagai topik sensitif dan tabu sehingga menyebabkan para pendidik merasa tidak nyaman atau tidak siap untuk mengajarkannya.
Pelatihan yang tepat diperlukan untuk membantu guru memahami materi dengan baik, mengatasi rasa tidak nyaman, dan mengajarkan topik-topik ini dengan cara yang sensitif dan efektif. Program pelatihan harus mencakup teknik pengajaran yang interaktif, cara mengatasi pertanyaan sulit dari siswa, dan cara menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif.
Stigma sosial terkait pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas juga menjadi hambatan signifikan. Banyak masyarakat masih memandang topik ini sebagai tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan di depan umum, terutama di kalangan remaja. Stigma ini sering kali diperkuat oleh norma-norma budaya dan agama yang konservatif.
Untuk mengatasi stigma ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk orang tua, tokoh agama, dan komunitas lokal. Kampanye edukasi yang menyasar orang tua dan masyarakat luas dapat membantu mengubah persepsi negatif dan meningkatkan penerimaan terhadap pentingnya PKRS.
Pemerintah perlu mengambil langkah proaktif untuk memastikan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Ini termasuk pengembangan kebijakan yang mendukung, penyediaan dana yang memadai, pelatihan bagi pendidik, serta kampanye untuk mengatasi stigma di masyarakat.
Dengan dukungan yang kuat dari pemerintah, PKRS dapat memberikan dampak signifikan bagi peningkatan kesehatan dan kesejahteraan remaja di Indonesia. Investasi dalam PKRS tidak hanya membantu remaja mengelola aspek-aspek penting dalam kehidupan mereka seperti seksualitas dan hubungan interpersonal, tetapi juga berkontribusi pada pengurangan risiko perilaku seksual berisiko, penurunan angka kehamilan remaja, dan peningkatan akses terhadap layanan kesehatan yang ramah remaja.
Keberhasilan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif sangat bergantung pada kebijakan yang tepat, pelatihan yang memadai, dan upaya untuk mengubah norma sosial yang membahayakan demi mempersiapkan generasi muda Indonesia menuju masa depan yang lebih baik dan gemilang. (*)