Kontroversi Asian Value: Perspektif Alternatif tentang Hak Asasi Manusia dan Pemerintahan
Reporter
Winda Oktavia
Editor
Dwi Arjanto
Sabtu, 8 Juni 2024 09:45 WIB
![](https://statik.tempo.co/data/2023/11/01/id_1250669/1250669_720.jpg)
TEMPO.CO, Jakarta - Asian Value adalah konsep yang muncul sebagai alternatif terhadap nilai-nilai politik Barat seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan kapitalisme. Perdebatan ini mencuat setelah Arie Putra dari podcast Total Politik dengan bintang tamu Pandji Pragiwaksono mengaitkan dinasti politik dengan Asian Value dan hak asasi manusia.
Pernyataan ini menimbulkan kontroversi karena banyak orang berpendapat bahwa dinasti politik justru menghambat demokrasi dan sarat akan perilaku korupsi. Hal ini memicu diskusi yang lebih luas tentang peran dan definisi Asian Value dalam masyarakat modern.
Menurut Britannica, Asian Value mencakup norma budaya dan prinsip yang dipopulerkan oleh pemimpin dan intelektual Asia sejak akhir abad ke-20. Berakar pada Konfusianisme, nilai-nilai ini menekankan disiplin, kerja keras, hemat, prestasi pendidikan, keseimbangan antara kebutuhan individu dan masyarakat, serta penghormatan terhadap otoritas. Pendukungnya berargumen bahwa nilai-nilai ini mendukung pertumbuhan ekonomi pesat negara-negara Asia Timur pasca Perang Dunia II.
Asian Value sering dibandingkan dengan nilai-nilai Barat yang dianggap mendorong individualisme berlebihan. Filosofi ini menekankan komunitas dan harmoni sosial di atas hak individu untuk menjaga stabilitas dan kemajuan ekonomi. Tokoh seperti mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew pada awal 1990-an menyoroti pentingnya nilai-nilai ini sebagai tandingan narasi Barat tentang keunggulan hak asasi manusia, demokrasi, dan kapitalisme.
Namun, di Asia Timur, perubahan ekonomi dan sosial yang cepat memicu perdebatan internal tentang nilai-nilai ini. Peningkatan individualisme, demokratisasi, dan gerakan hak asasi manusia menantang tatanan sosio-ekonomi dan rezim otoriter yang ada.
Dilansir dari United Nations University, kritikus berpendapat bahwa Asian Value sering digunakan untuk membenarkan pemerintahan otoriter dan menekan oposisi. Krisis keuangan Asia 1997-1998 menunjukkan kelemahan dalam model ekonomi yang didukung nilai-nilai ini. Kritik juga menyatakan bahwa wacana Asian Value didasarkan pada stereotip budaya dan orientalisme.
Selain itu, terdapat kontradiksi dalam mengadvokasi anti-liberalisme sambil mempromosikan pembangunan ekonomi pasar. Teoretisi feminis mengkritik Asian Value karena melegitimasi hierarki gender, kelas, etnis, dan ras dalam masyarakat Asia.
Perdebatan tentang Asian Value juga terkait dengan teori politik mengenai keadilan global dan kesetaraan. Pemikir komunitarian mengeksplorasi potensi nilai-nilai ini dalam membangun konsensus global yang lebih inklusif tentang hak asasi manusia. Banyak nilai dari masyarakat Asia dapat memperkaya teori dan praktik hak asasi manusia global, meningkatkan martabat dan kesejahteraan masyarakat Asia kontemporer.
Terlepas dari manipulasi politik dan generalisasi, beberapa ciri budaya memang ada dalam masyarakat Asia Timur, seperti orientasi kelompok dan kepentingan komunitas yang diutamakan. Pendekatan komunitarian ini mendukung otoritas negara yang kuat untuk menjaga kohesi sosial dan ketertiban umum. Namun, sejauh mana masyarakat Asia Timur dipengaruhi oleh Konfusianisme masih diperdebatkan, dengan skeptis melihatnya sebagai upaya melawan kritik Barat terhadap otoritarianisme.
Pilihan editor: Kritisi Putusan MA, Pengamat Nilai Upaya Melanggengkan Dinasti Politik