Cerita Temuan IMA Soal Kondisi Memprihatinkan Suku Laut di Batam, Ada Fenomena Perkawinan Anak

Jumat, 24 Mei 2024 14:33 WIB

Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) Nukila Evanty saat bertemu dengan masyarakat adat suku laut di pesisir Pulau Tanjung Sauh, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, 16 Mei 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra

TEMPO.CO, Batam - Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) Nukila Evanty menemukan kondisi masyarakat adat suku Laut di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dalam keadaan memprihatinkan, baik secara ekonomi, sosial dan budaya. Lebih parah lagi, Nukila menemukan, adanya perkawinan anak di satu suku di Batam akibat akses pendidikan yang tidak layak.

Temuan itu didapati Nukila saat menjalankan program fellow International Indigenous Women’s Forum (FIMI) selama dua hari pada tanggal 16 dan 17 Mei 2024. Lokasi penelitian berlangsung di dua kampung suku Laut, yaitu di Suku Laut Air Mas, Pulau Tanjung Sauh, Nongsa Batam dan suku Laut Pulau Dare Belakang Padang, Kota Batam.

“Saya berkesempatan untuk melakukan riset dan sekaligus advokasi pada perempuan suku Laut (the Sea Peoples) yang berada di Kepulauan Riau. Tujuan penelitian atau riset ini menyasar pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah memahami tantangan yang dialami suku Laut tersebut, terutama perempuan dan anak-anak serta melakukan intervensi program untuk membantu suku Laut,” kata Nukila dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Nukila, secara keseluruhan kondisi masyarakat adat suku Laut di Batam tidak diperhatikan. “Kami melihat kondisi mereka begitu miris dan menyedikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak suku Laut,” kata dia.

Nukila membeberkan, beberapa temuanya di lapangan. Selain kondisi ekonomi masyarakat suku Laut yang kekurangan, ia mendapati cerita dari masyarakat bahwa banyak anak-anak, terutama perempuan yang masuk dalam lingkaran perkawinan anak.

Advertising
Advertising

"Kami menemukan fenomena menikah di usia anak-anak yang terjadi di suku laut ini, umumnya mereka menikah yaitu umur 12 tahun - 17 tahun, padahal umur menikah harus di atas 18 tahun," kata Nukila.

Suku Laut di dua lokasi ini juga mengalami pemaksaan penyeragaman atau uniformity sehingga identitas dan kebanggaan mereka akan tradisi suku Laut sudah mulai hilang. "Seperti adanya tradisi melaut pakai perahu dengan atap kajang, yang terbuat dari daun," kata Nukila.

Ada juga budaya lainnya, seperti bahasa suku Laut, keyakinan nenek moyang, serta cara melaut suku Laut yang biasanya pakai tombak. "Semuanya sudah mulai tergerus, bahkan lama-lama akan hilang," ujarnya.

Kondisi lain yang ditemukan Nukila, yaitu dipaksanya masyarakat adat suku Laut untuk pindah ke darat dengan bantuan rumah yang diiming-imingkan kehidupan lebih baik. Padahal bantuan rumah dari pemerintah tidak sesuai dengan standard right to adequate housing (rumah yang layak huni).

"Standar rumah yang baik itu adalah tidak sekedar didirikan rumah, tetapi dipikirkan juga kepemilikan tanah (land ownership), sanitasi, kesejahteraan keluarga dirumah itu," kata Nukila.

Beberapa suku Laut yang ditemukan Nukila bercerita bahwa sekarang mencari ikan semakin sulit bagi mereka. Bahkan untuk membeli makanan bernutrisi juga sulit karena ketidakmampuan membeli beras dan makanan bergizi lainnya.

"Kami juga menemukan kurangnya klinik kesehatan di perkampungan suku Laut, perlindungan buat penyandang disabilitas juga, ada beberapa perempuan di suku Laut itu yang sudah lansia susah payah mendapatkan kursi roda untuk penyangga mereka bisa berjalan," kata Nukila.

Akses Pendidikan yang Tidak Layak

Dari sektor pendidikan, anak-anak suku Laut juga kesulitan dalam akses yang layak. Mereka harus naik kapal kayu untuk pergi sekolah yang jaraknya berada cukup jauh dari pulau tempat mereka tinggal.

"Akhirnya karena akses yang sulit dan mahal, banyak dari anak-anak suku Laut memilih berhenti dan melaut, serta yang perempuan memilih untuk menikah di usia anak-anak," kata Nukila.

Selain akhirnya menyebabkan pernikahan di bawah umur, banyak anak-anak suku Laut yang akhirnya buta huruf. "Kami melihat belum ada program pemerintah yang serius menangani masalah ini," kata Nukila.

Ancaman Industri terhadap Ruang Hidup Suku Laut

Terakhir, IMA juga memaparkan masifnya berdirinya kawasan industri di pesisir Pulau Batam yang lokasinya berdekatan dengan pulau-pulau kecil tempat tinggal suku Laut yang membuat ruang hidup dan mata pencaharian suku Laut rusak. "Setidaknya kami menemukan ada proyek pembangunan dan industri ekstratif masuk ke wilayah di sekitar kediaman suku laut," kata Nukila.

Dari hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat adat suku Laut, mereka mengatakan laut rusak karena industri pesisir di Pulau Batam. Kegiatan industri itu menyebabkan, air laut keruh, tercemar, terumbu karang mati dan ikan-ikan pun menjauh.

Bahkan, kata Nukila, suku Laut tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan ini, termasuk soal persetujuan. "Ketika mereka (masyarakat adat suku Laut) protes, ganjarannya adalah kriminalisasi, mereka akan terseret ke ranah hukum," ujarnya. "Sekarang suku Laut menjadi suku yang tak dianggap padahal lautan ini dahulunya adalah habitat tempat tinggal mereka."

Nukila meminta pemerintah pusat dan daerah untuk memperhatikan nasib suku Laut di Batam ini. Seperti memberikan akses pendidikan yang layak serta memberikan pengakuan atas suku Laut sebagai masyarakat adat yang berhak diakui budaya, bahasa dan lingkungannya.

"Kami juga meminta pemerintah untuk memastikan bisnis-bisnis di Kepulauan Riau patuh pada UNGPs (United Nations Guiding Principle on Business and Human Rights) yaitu panduan berbisnis yang menghormati HAM, memastikan bahwa harus ada analisa dampak sosial, ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang terkena dari suatu proyek pembangunan," kata Nukila.

Menurut Nukila, jika komitmen SDGs tidak diterapkan pemerintah Kota Batam ataupun Provinsi Kepri tentu pemerintah akan rugi sendiri, karena tidak mematuhi komitmen internasioal itu.

Tanggapan Kepala Dinsos Batam

Kepala Dinas Sosial Kota Batam, Leo Putra mengatakan, akan segera melakukan pemeriksaan terkait kondisi suku Laut di Pulau Tanjung Sauh Ngenang. "(Suku laut) Pulau Ngenan belum kita lacak, beri kami waktu," kata dia saat dihubungi Tempo, Jumat, 24 Mei 2024.

Selama ini, menurut Leo, suku Laut yang berada di tiga pulau terpisah, termasuk Pulau Dare, Lingke dan Bertam sudah diperhatikan pemerintah. Termasuk juga beberapa kali Menteri Sosial datang langsung ke pulau-pulau itu.

"Di tiga pulau itu suku Laut sudah kita perhatikan, suku Laut ini terpencar, paling banyak kita pusatkan di tiga pulau itu, 100 persen kita punggut (suku Laut) superman-lah kita," kata Leo.

Pilihan Editor: Warga Rempang Protes Ada Organisasi Mengatasnamakan Suara Masyarakat

Berita terkait

Kisah Tenaga Medis Perempuan Antarpulau di Batam: Menggotong Nyawa, Menantang Gelombang

1 hari lalu

Kisah Tenaga Medis Perempuan Antarpulau di Batam: Menggotong Nyawa, Menantang Gelombang

Tenaga medis di Kecamatan Belakang Pandang Kota Batam harus berani melawan ganasnya ombak laut untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Baca Selengkapnya

Tarif Pembuatan Paspor Naik 18 Desember, Imigrasi Batam Janji Tingkatkan Pelayanan

1 hari lalu

Tarif Pembuatan Paspor Naik 18 Desember, Imigrasi Batam Janji Tingkatkan Pelayanan

Dengan naiknya tarif pembuatan paspor diiringi dengan meningkatkan pelayanan publik yang berkelanjutkan kepada masyarakat

Baca Selengkapnya

Indonesia Akhirnya Setujui Pembentukan Badan Permanen Masyarakat Adat di Hari Terakhir COP16 CBD

2 hari lalu

Indonesia Akhirnya Setujui Pembentukan Badan Permanen Masyarakat Adat di Hari Terakhir COP16 CBD

Delegasi Pemerintah Indonesia akhirnya turut mendukung pembentukan Badan Permanen Masyarakat Adat dalam sidang COP16 CBD di Kolombia.

Baca Selengkapnya

Aturan Bebas Visa Permanent Resident Singapura Belum Berdampak pada Kunjungan Wisman di Batam

3 hari lalu

Aturan Bebas Visa Permanent Resident Singapura Belum Berdampak pada Kunjungan Wisman di Batam

Untuk pemegang Permanent Resident Singapura, wilayah Kepri yang dapat dikunjungi mencakup Batam, Bintan, dan Karimun

Baca Selengkapnya

Auriga Nusantara Minta Ekspansi Nikel Dibatasi, Usulkan Penerapan No Go Zone lewat COP16 CBD

4 hari lalu

Auriga Nusantara Minta Ekspansi Nikel Dibatasi, Usulkan Penerapan No Go Zone lewat COP16 CBD

Tambang nikel yang masif bertambah mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat adat.

Baca Selengkapnya

Masyarakat Adat Aru Tuntut Pengakuan atas Peran dalam Melindungi Alam di COP16

8 hari lalu

Masyarakat Adat Aru Tuntut Pengakuan atas Peran dalam Melindungi Alam di COP16

Aksi hari ini merupakan pernyataan perjuangan masyarakat adat Aru dan pemuda untuk menolak investasi yang merusak lingkungan di Aru.

Baca Selengkapnya

Terpopuler: Prabowo Perintahkan Menperin, Menkeu, BUMN, dan Menaker Selamatkan Sritex; Ekonom Kritik Proyek Food Estate Seluas 2 Juta Hektare di Papua

10 hari lalu

Terpopuler: Prabowo Perintahkan Menperin, Menkeu, BUMN, dan Menaker Selamatkan Sritex; Ekonom Kritik Proyek Food Estate Seluas 2 Juta Hektare di Papua

Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan pemerintah segera mengambil langkah untuk menyelamatkan karyawan PT Sri Rejeki Isman (Sritex).

Baca Selengkapnya

Masyarakat Adat Tuntut Setop Proyek PSN Food Estate di Merauke yang Belum Punya Amdal dan Brutal

11 hari lalu

Masyarakat Adat Tuntut Setop Proyek PSN Food Estate di Merauke yang Belum Punya Amdal dan Brutal

Pembukaan kawasan hutan jutaan hektar di Merauke untuk food estate belum memiliki Amdal. Masyarakat adat menjerit agar proyek dihentikan.

Baca Selengkapnya

Masyarakat Sipil Indonesia Desak Pemerintah dukung Agenda Masyarakat Adat di COP 16 CBD

11 hari lalu

Masyarakat Sipil Indonesia Desak Pemerintah dukung Agenda Masyarakat Adat di COP 16 CBD

Masyarakat sipil Indonesia mendesak pemerintah dukung agenda masyarakat adat di COP 16 CBD

Baca Selengkapnya

Promosikan Judi Online Lewat Instagram, Empat Selebgram Ditangkap Polisi di Batam

12 hari lalu

Promosikan Judi Online Lewat Instagram, Empat Selebgram Ditangkap Polisi di Batam

Adapun modus operandinya adalah para pelaku menggunakan akun Instagram sebagai sarana utama untuk mempromosikan situs judi online.

Baca Selengkapnya