Franz Magnis Suseno Soroti Perilaku Jokowi dalam Pemilu 2024: Presiden Gunakan Kekuasaan Mirip Pimpinan Mafia
Reporter
Ananda Ridho Sulistya
Editor
S. Dian Andryanto
Rabu, 3 April 2024 11:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Profesor Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Franz Magnis Suseno SJ, dipanggil menjadi saksi ahli sidang lanjutan sengketa hasil pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Selasa, 24 Maret 2024. Romo Magnis menjadi saksi dalam agenda mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli yang dihadirkan oleh pemohon Tim Hukum pasangan Ganjar-Mahfud.
Romo Magnis adalah seorang filsuf, rohaniwan, dan budayawan ternama Indonesia, berusia 87 tahun. Sosoknya yang sederhana dan pemikirannya yang kritis telah menginspirasi banyak orang selama lebih dari 50 tahun berkarya di Indonesia.
Lahir di Jerman pada 1936, Romo Magnis datang ke Indonesia sebagai misionaris Yesuit pada 1961. Ia kemudian menjadi warga negara Indonesia pada 1977. Dedikasi dan kecintaannya terhadap Indonesia tercermin dalam berbagai karya dan pemikirannya yang mencerminkan realitas sosial dan budaya bangsa. Di usia senjanya, Romo Magnis tetap aktif berkarya dan menyuarakan pemikirannya.
Saat menjadi saksi ahli sidang sengketa pilpres, guru besar STF Driyakara ini membuat perbandingan antara presiden dan kepala organisasi kriminal mafia dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres yang sedang berlangsung di MK. Ia juga mengungkapkan 5 pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh kubu Prabowo-Gibran.
Romo Magnis mengatakan segala kesan bahwa presiden memakai kekuasaannya demi keuntungan sendiri atau demi keuntungan keluarganya adalah hal yang fatal.
"Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, membuat presiden menjadi mirip menjadi dengan pimpinan organisasi mafia," kata Romo Magnis di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Selasa, 2 April 2024.
"Segala kesan dia memakai kekuasaan demi keuntungan sendiri atau keuntungan keluarganya adalah fatal. Presiden milik semua. Bukan milik mereka yang memilihnya," katanya. "Kalau dia berasal dari satu partai, begitu dia jadi presiden tindakannya harus demi keselamatan semua," ujarnya, melanjiutkan.
Ia kemudian menjabarkan lima pelanggaran etik berat yang dilakukan kubu Prabowo-Gibran. Pertama adalah ihwal pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Franz menyatakan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menilai pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden merupakan pelanggaran etika yang serius.
"Penetapan seseorang sebagai calon wakil presiden—yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan suatu pelanggaran etika berat—juga merupakan pelanggaran etika berat," ucap Franz.
Kedua, keberpihakan Jokowi dan miss used of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Franz, Jokowi boleh saja memberi tahu harapan kemenangan salah satu calon.
"Tapi begitu dia memakai kekuasaannya untuk memberi petunjuk pada ASN, polisi, militer, dan lain-lain guna mendukung salah satu paslon, serta memakai kas negara untuk membiayai perjalanan dalam rangka memberikan dukungan kepada paslon, itu ia melanggar tuntutan etika, bahwa ia tanpa membeda-bedakan adalah presiden semua warga negara, termasuk semua poltisi," beber Franz.
Ketiga, Franz mengecam praktik nepotisme, di mana seorang presiden memanfaatkan kekuasaan untuk keuntungan keluarga sendiri, menyatakan bahwa hal tersebut menunjukkan ketidaksanggupan seorang presiden yang seharusnya mendedikasikan dirinya sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
Keempat, dia menyoroti pembagian bantuan sosial (bansos), menyatakan bahwa bansos adalah milik bangsa Indonesia dan pembagiannya menjadi tanggung jawab kementerian terkait sesuai dengan aturan yang berlaku, dan mengkritik presiden yang menggunakan bansos untuk kepentingan politik tertentu, menyerupai perilaku seorang karyawan yang mengambil uang dari kas toko untuk kepentingan pribadi.
"Jadi, itu pencurian ya pelanggaran etika. Itu juga tanda bahwa dia sudah kehilangan wawasan etika," ujar Franz.
Terakhir, manipulasi-manipulasi dalam proses Pemilu. "Kalau proses Pemilu dimanipulasi, itu pelanggaran etika berat karena merupakan pembongkaran hakikat demokrasi," kata dia.
Misalnya, ujar Franz, jika waktu untuk memilih diubah atau penghitungan suara dilakukan dengan cara yang tidak semestinya. Dia menyebut, paktik semacam itu memungkinkan kecurangan dan sama dengan sabotase pemilihan rakyat. "Jadi, suatu pelanggaran etika yang berat," ujar Franz Magnis.
ANANDA RIDHO SULISTYA | AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan Editor: Franz Magnis Suseno Sebut Presiden Gunakan Kekuasaan Mirip Pimpinan Organisasi Mafia di Sidang MK, Siapa Dia?