Komisi X DPR Minta Kemendikbudristek Bentuk Satgas Cegah Perundungan, Ini Alasannya
Reporter
Tempo.co
Editor
Sapto Yunus
Senin, 4 Maret 2024 14:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk mencegah terjadinya perundungan.
"Selama ini kan regulasi menyerahkan (pembentukan satgas mengatasi kekerasan di sekolah) kepada sekolah, sekolah harus ini, ini, ini. Ketika ada persoalan, langsung didorong menjadi bagian dari kewenangan aparat penegak hukum (APH)," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, 4 Maret 2024, seperti dikutip Antara.
Anggota Komisi X DPR RI Himmatul Aliyah menyampaikan hal senada. Menurut Aliyah, pembentukan satgas untuk mencegah perundungan sudah sepatutnya dilakukan guna mengoptimalkan pencegahan terjadinya bullying di sekolah.
Dia mengingatkan, setelah pembentukan satgas tersebut, para pelaku perundungan harus ditindak secara tegas melalui pemberian sanksi hukum guna memberikan efek jera.
"Jangan lagi ada jalan-jalan lain di luar sanksi hukum, yang tidak menimbulkan efek jera. Sanksi hukum pertama harus," ujarnya.
Aliyah mendorong pihak sekolah berkolaborasi dengan orang tua untuk lebih peka terhadap kondisi anak. Dengan demikian, mereka dapat mendeteksi apabila anak mengalami perundungan.
Kemendikbudristek selama ini mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sekolah dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Peraturan tersebut mengamanatkan satuan pendidikan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota membentuk satuan tugas (Satgas).
TPPK dan satgas perlu dibentuk dalam waktu 6 sampai 12 bulan setelah peraturan ini disahkan agar kekerasan di satuan pendidikan dapat segera tertangani.
"Jika ada laporan kekerasan, dua kelompok kerja ini harus melakukan penanganan kekerasan dan memastikan pemulihan bagi korban, sedangkan sanksi administratif diberikan kepada pelaku peserta didik dengan mempertimbangkan sanksi yang edukatif dan tetap memperhatikan hak pendidikan peserta didik,” kata Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim.
Selanjutnya, PGRI dorong pemerintah pastikan sekolah terapkan mekanisme terbuka…
<!--more-->
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mendorong pemerintah memastikan sekolah menerapkan mekanisme terbuka ketika menangani kasus perundungan dan penganiayaan yang melibatkan guru dan siswa. Ia menegaskan sekolah tidak boleh menutupi kasus tersebut.
"Penanganan itu kewenangan kementerian. Saya imbau secara moral direktorat terkait harus mendorong mekanisme terbuka," kata Unifah setelah pembukaan Kongres XXIII PGRI di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Sabtu, 2 Maret 2024.
Menurut Unifah, PGRI selama ini mendorong sekolah bebas dari kasus perundungan terhadap siswa dan guru. Mekanisme terbuka diyakini dapat menciptakan ruang aman bagi murid dan guru. "Sekolah harus jadi zona nyaman dan aman," ujarnya.
Kongres PGRI dihadiri oleh Presiden Jokowi alias Jokowi. Ia sempat menyinggung kasus perundungan di sekolah dan meminta sekolah tidak menutup-nutupi kasus perundungan demi menjaga nama baik maktab.
Menurut Jokowi, setiap sekolah semestinya menyelesaikan kasus itu. "Biasanya kasus perundungan ditutupi untuk melindungi nama baik sekolah. Saya kira yang baik menyelesaikan dan memperbaikinya," kata dia.
Jokowi khawatir mendengar banyaknya kasus kekerasan, penganiayaan, perundungan dan pelecehan yang menimpa murid. Ia juga menyayangkan kekerasan itu sampai memakan korban jiwa.
Menurut Jokowi, sekolah seharusnya menjadi lingkungan aman bagi murid-murid. "Jangan sampai ada siswa yang tertekan di sekolah, dan tidak betah di sekolah," kata dia.
HENDRIK YAPUTRA | ANTARA
Pilihan editor: Reaksi Para Guru Soal Makan Siang Gratis akan Gunakan Dana BOS