SBY Tetapkan 19 Desember Hari Bela Negara, Apa Alasannya?

Selasa, 19 Desember 2023 12:35 WIB

Serka Iswanto dari Denmatra 2 Kopasgat melakukan terjun payung dengan membawa bendera Merah Putih raksasa dalam gladi bersih Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Gambir, Jakarta Pusat, Selasa 3 Oktober 2023. Gladi bersih yang diikuti 4.630 personel dan 130 alutsista dari tiga matra TNI tersebut digelar untuk persiapan HUT TNI pada Kamis (5/10). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini, 17 tahun yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) menetapkan Hari Bela Negara. Dilansir dari antara, penetapan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara dilakukan untuk memperingati berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dibentuk 19 Desember 1948.

“Saya telah mengeluarkan keputusan Presiden untuk menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara,” kata SBY.

Melalui Keppres No. 28 Tahun 2006 Presiden SBY memandang perlunya penetapan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara dalam upaya lebih mendorong semangat kebangsaan dalam bela negara, dalam rangka mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.

Dalam setiap peringatan Hari Bela Negara masyarakat dapat melaksanakan Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Bela Negara (PKBN). Dilansir dari kesbangpol.kulonprogokab.go.id, setidaknya ada lima nilai dasar pelaksanaan bela negara, di antaranya adalah:

  1. Cinta tanah air
  2. Sadar berbangsa dan bernegara
  3. Setia pada Pancasila sebagai ideologi negara
  4. Rela berkorban untuk bangsa dan negara
  5. Memiliki kemampuan awal bela negara

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, penetapan Hari Bela Negara dilatarbelakangi oleh sejarah pembentukan PDRI. Saat itu, PDRI dibentuk karena adanya Agresi Militer II Belanda yang melancarkan serangan ke Ibu Kota Indonesia yang saat itu di Yogyakarta.

Advertising
Advertising

Dilansir dari sumbarporv, peristiwa itu terjadi pada Minggu pukul 05.45, tanggal 19 Desember 1948. Saat itu lapangan terbang Maguwo Jogjakarta (sekarang Adisutjipto) diserang dan ditembaki oleh Belanda menggunakan lima pesawat Mustang dan sembilan pesawat Kittyhawk.

Belanda mengumumkan bahwa mereka tidak lagi mematuhi Perjanjian Renville dan tidak lagi mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Serangan itu kemudian dikenal sebagai Agresi Militer II.

Ibukota Negara yang saat itu berada di Yogyakarta berhasil direbut oleh Belanda. Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa menteri ditawan oleh Belanda, menyebabkan lumpuhnya pemerintahan Republik Indonesia. Belanda menyatakan kepada dunia bahwa Republik Indonesia telah bubar.

Agresi Militer II menargetkan seluruh wilayah Indonesia, dengan fokus utama pada Yogyakarta yang saat itu menjadi Ibukota RI. Dengan pertahanan yang lemah di Yogyakarta, kota itu berhasil dikuasai dalam 25 menit.

Meskipun begitu, tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, termasuk mereka yang berasal dari Sumatera Barat, tidak tinggal diam. Tokoh-tokoh pemikir dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia banyak yang berasal dari Sumatera Barat. Meskipun Belanda berusaha menjatuhkan pemerintahan RI, rakyat Indonesia tetap bertekad mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada saat itu, kepemimpinan negara diambil alih oleh dua tokoh Sumatera Barat, yaitu Sjafruddin Prawiranegara dan Muhammad Rasyid. Mereka membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan menjadikan Bukittinggi sebagai ibukota negara setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948. Presiden Sukarno memberikan mandat kepada Sjafruddin yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk PDRI.

Mandat tersebut berbunyi, "Kami Presiden RI memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19 Desember 1948, pukul 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas ibukota Jogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya, kami menugaskan pada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera."

Meskipun Bukittinggi juga diserang oleh Belanda, kota ini justru memberikan perlawanan. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi bersama TM Hasan (Ketua Komisariat Pemerintahan Pusat) dan Residen Sumatera Tengah Muhammad Rasyid membentuk PDRI dan melanjutkan perang gerilya melawan Belanda.

Sejak saat itu, pusat pemerintahan RI berada di Bukittinggi. Untuk mempertahankan kedaulatan negara dan eksistensi Republik Indonesia di mata dunia, NKRI harus tetap ada. Meskipun Belanda terus berusaha membubarkannya dengan menyerang PDRI, Sjafruddin berhasil bertahan dengan melakukan perang gerilya dari hutan ke hutan di berbagai wilayah Sumatera. PDRI tetap eksis hingga Juli 1949.

Ketika situasi telah kembali aman, pada tanggal 13 Juli 1949, Sjafruddin mengembalikan mandatnya kepada Sukarno. Dalam upacara sederhana di hadapan sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara, serta didampingi Jenderal Soedirman, Sjafruddin memimpin langsung serah terima tersebut.

Pilihan Editor: Peringati PDRI Puluhan Milenial dan Gen Z Lakukan Ekspedisi di 3 Tempat

Berita terkait

Polda Sumbar Tangkap 2 Penambang Emas Ilegal, Pemilik Modal Masih Diburu

1 jam lalu

Polda Sumbar Tangkap 2 Penambang Emas Ilegal, Pemilik Modal Masih Diburu

Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Polda Sumbar) menangkap 2 pelaku penambang emas ilegal di Kabupaten Solok pada Senin 29 April 2024 lalu.

Baca Selengkapnya

Demokrat Klaim Ide Presidential Club Sudah Ada Sejak era SBY

3 jam lalu

Demokrat Klaim Ide Presidential Club Sudah Ada Sejak era SBY

Demokrat menyatakan ide pembentukan presidential club sebetulnya sudah tercetus sejak 2014.

Baca Selengkapnya

Sukarno Pernah Melarang Manifesto Kebudayaan 60 Tahun Lalu, Apa itu Manikebu dan Lekra?

5 jam lalu

Sukarno Pernah Melarang Manifesto Kebudayaan 60 Tahun Lalu, Apa itu Manikebu dan Lekra?

Presiden Sukarno pernah melarang Manifesto Kebudayaan pada 60 tahun lalu. Apa itu Manikebu dan Lekra yang mengemuka saat itu?

Baca Selengkapnya

Kata Pakar Soal Posisi Koalisi dan Oposisi dalam Pemerintahan Prabowo

19 jam lalu

Kata Pakar Soal Posisi Koalisi dan Oposisi dalam Pemerintahan Prabowo

Prabowo diharapkan tidak terjebak dalam politik merangkul yang berlebihan.

Baca Selengkapnya

Presidential Club Dinilai Sulit Terbentuk Mengingat Hubungan Megawati, Jokowi, dan SBY

1 hari lalu

Presidential Club Dinilai Sulit Terbentuk Mengingat Hubungan Megawati, Jokowi, dan SBY

Sejumlah pakar menilai pembentukan presidential club oleh Prabowo Subianto sulit terbentuk mengingat hubungan antara Megawati, SBY, dan Jokowi.

Baca Selengkapnya

Presidential Club Alias DPA: Dibentuk Soekarno, Dihapus saat Reformasi dan Dihidupkan Kembali Prabowo?

1 hari lalu

Presidential Club Alias DPA: Dibentuk Soekarno, Dihapus saat Reformasi dan Dihidupkan Kembali Prabowo?

Presiden terpilih Prabowo berniat membentuk 'Presidential Club' yang terdiri atas para mantan Presiden RI untuk menjadi semacam penasihat pemerintah.

Baca Selengkapnya

Reaksi Internal KIM atas Rencana Prabowo Bentuk Presidential Club

2 hari lalu

Reaksi Internal KIM atas Rencana Prabowo Bentuk Presidential Club

Gerindra menyatakan Prabowo sudah mendiskusikan pembentukan presidential club sejak bertahun-tahun lalu.

Baca Selengkapnya

Respons DPR atas Rencana Prabowo Bentuk Presidential Club

2 hari lalu

Respons DPR atas Rencana Prabowo Bentuk Presidential Club

Anggota DPR Saleh Partaonan Daulay menilai perlu usaha dan kesungguhan dari Prabowo untuk menciptakan presidential club.

Baca Selengkapnya

Habiburokhman Sebut Ide Prabowo Bikin Presidential Club Sudah Sejak 2014

2 hari lalu

Habiburokhman Sebut Ide Prabowo Bikin Presidential Club Sudah Sejak 2014

Prabowo disebut memiliki keinginan untuk secara rutin bertemu dengan para presiden sebelum dia.

Baca Selengkapnya

Dahnil Anzar Yakin Prabowo Bisa Cairkan Komunikasi Jokowi-Megawati-SBY

2 hari lalu

Dahnil Anzar Yakin Prabowo Bisa Cairkan Komunikasi Jokowi-Megawati-SBY

Dahnil menilai Prabowo punya kemampuan untuk menghubungkan mereka.

Baca Selengkapnya