Jenderal Soedirman Bukan Pemuda Biasa Tak Mudah Jadi Panglima TNI di Usia 29 Tahun
Reporter
Hendrik Khoirul Muhid
Editor
S. Dian Andryanto
Jumat, 27 Oktober 2023 18:08 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam sejarah perjuangan meraih maupun mempertahankan kemerdekaan, Indonesia selalu punya sosok pejuang dari kalangan pemuda. Mereka, bukan pemuda biasa itu, turut andil dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara berdaulat. Satu di antaranya adalah Jenderal Soedirman, usianya baru 29 tahun kala menjabat sebagai Panglima TNI.
Nama Soedirman mungkin tak asing meski tidak semua orang tahu seluk beluk kehidupannya. Namanya telah diabadikan sebagai nama jalan di mayoritas kota-kota besar di Indonesia. Di DKI Jakarta misalnya, nama Jenderal Soedirman dijadikan nama salah satu jalan utama. Pun di kota-kota lain, seperti Pekanbaru, Palembang, dan Surabaya.
Lantas siapakah sosok Panglima TNI Jenderal Soedirman ini?
Profil Jenderal Soedirman
Raden Soedirman lahir di Purbalingga, 24 Januari 1916. Terlahir dari pasangan rakyat biasa, Karsid Kartawiraji dan Siyem, Soedirman lalu diadopsi oleh pamannya yang seorang priayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin. Ia aktif dalam kegiatan tambahan, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh Muhammadiyah.
Soedirman dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada agama. Ia sempat berkuliah keguruan. Namun berhenti pada 1936 dan mulai bekerja sebagai guru. Kemudian sempat menjadi kepala sekolah. Dia turut menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar.
Lalu Pada 1944, Soedirman bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang. Dia menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama prajurit lainnya melakukan pemberontakan. Hingga kemudian diasingkan ke Bogor. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, dia melarikan diri dari pusat penahanan dan menemui Soekarno di Jakarta.
Setelah Badan Keamanan Rakyat didirikan, Soedirman lalu ditugaskan mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas. Pasukannya dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo. Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi Panglima besar TKR. Saat itu usianya belum genap kepala tiga.
Kisah Soedirman terpilih sebagai Panglima TKR lalu jadi Panglima TNI pertama
Dilansir dari Majalah Tempo Edisi 12 November 2021, alasan terpilihnya Soedirman sebagai Panglima Besar TNI bukan semata karena lulusan Akademi Militer (Akmil). Melainkan lebih kepada pengalamannya. Terpilihnya Jenderal Soedirman menjadi Panglima TKR terjadi karena kemenangannya atas voting di Markas Tinggi TKR Gondokusuman, Yogyakarta.
Dilansir dari “Seri Buku Tempo: Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir”, ketika itu sebenarnya sedang berlangsung rapat koordinasi dan strategi menghadapi kemungkinan agresi Belanda yang mendompleng tentara Sekutu. Tetapi, tiba-tiba Kolonel Holland Iskandar, mantan perwira Pembela Tanah Air (Peta), menginterupsi pemimpin sidang, Oerip Soemohardjo. Dia meminta peserta rapat memilih pemimpin tertinggi TKR yang baru dibentuk seminggu sebelumnya.
Iskandar meyakinkan peserta rapat bahwa TKR sangat membutuhkan seorang pemimpin atau Panglima Besar. Karena itu, A.H. Nasution dalam bukunya berjudul TNI Jilid 1, menulis bahwa ia curiga pembelokan agenda pertemuan Gondokusuman tersebut sudah diatur. Sehingga interupsi yang dilakukan Iskandar hanya akting belaka. Karena banyaknya dukungan dari peserta rapat yang berlatar belakang eks Peta.
Tjokropranolo dalam bukunya berjudul “Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman” menulis pemilihan itu berlangsung dalam tiga tahap. Pada tahap pertama dan kedua diberlakukan sistem gugur. Dalam putaran ketiga, Soedirman keluar sebagai pemenang yang berhasil mengalahkan nama-nama besar. Antara lain Amir Sjarifoeddin, Moeljadi Djojomartono bahkan Urip Sumohardjo, tokoh militer didikan Belanda yang berjiwa patriotik, berada di posisi kedua.
Terpilihnya Jenderal Soedirman menjadi Panglima Besar TKR, berdasarkan catatan Nasution, karena pada masa itu TKR didominasi eks Peta, unsur yang juga adalah latar belakang Soedirman. Selain dukungan yang luas dari para tentara bekas Peta, Soedirman juga mendapatkan dukungan dari Kolonel Moh. Noch. Nasution, yang mewakili enam divisi di Sumatera. Jenderal Soedirman dinobatkan sebagai Panglima TNI pertama oleh Presiden Sukarno pada 27 Juni 1947 di Yogyakarta.
Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Pertama adalah Perjanjian Linggarjati, yang turut disusun oleh Soedirman, dan kemudian Perjanjian Renville yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35 ribu tentara Indonesia. Soedirman juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948.
Selanjutnya: Taktik gerilya Jenderal Soedirman
<!--more-->
Jenderal Soedirman dan taktik perang gerilya
Jenderal Soedirman adalah penggagas taktik perang gerilya di Indonesia. Dinukil dari Muhammadiyah.or.id, taktik gerilya Jenderal Soedirman bertujuan untuk memecah konsentrasi kolonial Belanda. Hal ini dilakukannya dengan berpindah-pindah tempat dan menyeberangi sungai, gunung, lembah, dan hutan. Selain itu, dalam peperangan model ini para tentara juga bergabung dengan rakyat.
Saat melakukan taktik gerilya, Soedirman disebut tengah mengalami sakit TBC. Tidak bisa dipungkiri, ketika itu Belanda tengah menguasai pos-pos strategis di tengah kota. Dengan taktik ini Soedirman harus melakukan taktik berpindah-pindah tempat dan melakukan perjalanan memasuki desa-desa kecil. Karena sakit, hal ini membuatnya harus ditandu oleh pasukan gerilya.
Pada saat itu, Yogyakarta menjadi sasaran penyerangan utama ketika Agresi Militer Belanda II. Belanda telah menguasai Jakarta sebelumnya, dan Yogyakarta menjadi ibu kota sementara. Di kota ini, Belanda juga melayangkan serangan utamanya pertama kali melalui Pangkalan Udara Maguwo, kemudian berlanjut lewat serangan darat.
Puncak penyerangan gerilya ini terjadi pada 1 Maret 1949 ketika tentara Indonesia menyerang pos-pos militer Belanda pada pagi hari. Serangan serentak ini tidak hanya terjadi di Yogyakarta saja, melainkan seluruh wilayah di Indonesia. Dengan hal ini, dalam kurun waktu 6 jam saja Tentara Indonesia kembali menguasai Yogyakarta. Peristiwa ini juga diingat sebagai Serangan Umum 1 Maret.
Saat Belanda mulai menarik diri, Jenderal Soedirman dipanggil ke Yogyakarta pada Juli 1949. Dia ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Namun Sukarno melarang. Penyakit TBC-nya kambuh. Soedirman pensiun di usia muda dan pindah ke Magelang. Dia wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Soedirman kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | GERIN RIO PRANATA | NAUDAL RIDHWAN ALY I NAOMY AYU NUGRAHENI
Pilihan Editor: Indonesia Hanya Memiliki 3 Jenderal Besar, Termasuk Jenderal Soedirman