Tanggapi Pidato Jokowi, Partai Buruh Singgung Soal UU Cipta Kerja, Tragedi Kanjuruhan, hingga Pendidikan Tinggi yang Mahal
Rabu, 16 Agustus 2023 15:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh, Adityo Fajar, memberikan tanggapan terhadap pidato Presiden Joko Widodo alias Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023 yang digelar hari ini, Rabu, 16 Agustus 2023. Fajar memberikan sejumlah catatan terhadap pidato tersebut.
Fajar menyatakan partainya mengapresiasi capaian pemerintah yang sempat disampaikan presiden dalam pidatonya tersebut. Jokowi sempat menyinggung sejumlah keberhasilan dalam hal penurunan angka stunting, peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pembangunan desa hingga berbagai program perlindungan sosial.
"Kita apresiasi hal-hal yang memang mengalami kemajuan. Tetapi kami tentu memiliki catatan kritis," kata dia melalui keterangan tertulisnya, Rabu, 16 Agustus 2023.
Fajar menyoroti setidaknya empat isu penting yang menjadi bagian dari perhatian Partai Buruh dan tak masuk dalam pidato Jokowi. Keempat isu itu mencakup soal kesejahteraan buruh, pemberantasan korupsi, Reforma Agraria, dan kaum muda.
Soal UU Cipta Kerja
Soal kesejahteraan buruh, Fajar menilai ada anomali dari pidato presiden dan kebijakan yang telah dia keluarkan. Dia menyinggung soal ucapan presiden yang menyatakan bahwa Indonesia akan mencapai pendapatan per kapita sebesar 15.800 dolar Amerika atau sekitar Rp 217 juta dalam 15 tahun ke depan.
Baca selengkapnya: Jokowi Prediksi Pendapatan per Kapita Indonesia Bakal Lompat 2 Kali Lipat dalam 10 Tahun, Berapa?
Dia menilai hal itu sebagai anomali karena Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja pada akhir tahun lalu. Dia menilai Perpu yang kini telah menjadi UU Cipta Kerja sebagai bagian dari upaya pemberangusan kesejahteraan kelas pekerja. Hal itu, menurut dia, akan membuat pemerataan pendapatan menjadi sulit.
"Jadi target peningkatan pendapatan per kapita tadi tidak berdiri di atas pemerataan pendapatan publik dan peningkatan kemakmuran buruh. Jadi maunya apa? Kami yang miskin, konglomerasi yang makin gendut, begitukah?" kata dia.
Selanjutnya, korupsi hingga Tragedi Kanjuruhan
<!--more-->
Di bidang hukum, Fajar juga menyatakan Presiden Jokowi tak menyinggung soal pemberantasan korupsi yang terus menurun. Mengutip data Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International Indonesia, Fajar menyatakan bahwa saat ini Indonesia masuk ke dalam peringkat ke-110 dari 180 negara.
Hal itu, menurut dia, menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Padahal, dia menilai pemberantasan korupsi merupakan masalah yang dianggap sangat penting oleh masyarakat.
"Ini merupakan persoalan serius yang tidak bisa digantikan dengan pencapaian di bidang apapun," kata dia.
Tak hanya itu, dia juga menilai penanganan hukum di berbagai masalah sejauh ini tak tuntas. Sebagai warga Malang, Jawa Timur, Fajar mencontoh penanganan Tragedi Kanjuruhan.
Dia menilai penanganan masalah ini mandek karena tak mengungkap aktor-aktor kunci yang terlibat dalam tragedi yang menewaskan 135 orang tersebut.
"Ini bukan main-main. Sebuah bangsa yang kehilangan 135 nyawa tak berdosa, tetapi keadilan belum tuntas ditegakkan! Republik ini akan berusia 78 tahun, kita masih memiliki hutang ke keluarga korban," kata dia.
Soal Reforma Agraria
Berdasarkan pengamatannya di sejumlah media, Fajar juga menyatakan presiden Jokowi tak menyinggung soal reforma agraria dalam pidatonya hari ini. Dia menilai reforma agraria sangat penting bagi kesejahteraan para petani.
Dia menyatakan Jokowi hanya menyinggung soal kucuran dana desa tetapi lupa terhadap janjinya soal redistribusi tanah yang berasal dari tanah bekas Hak Guna Usaha, tanah telantar dan tanah negara lainnya. Menurut catatan Fajar, sejauh ini pemerintah baru merealisasikan redistribusi tanah tersebut seluas 1,33 juta hektare.
Sementara yang berasal dari kawasan hutan, pemerintah baru melakukan pelepasan sebesar 0,348 juta hektare. Sehingga total redistribusi baru sekitar 1,67 juta hektare atau 35 persen dari target 4,5 juta hektare.
Capaian itu, menurut dia berbanding terbalik dengan realisasi legalisasi tanah yang sudah menyentuh angka 8,97 juta hektare, dari target 4,5 juta hektare.
"Data ini kian menunjukan pergeseran Reforma Agraria dari redistribusi ke sekadar legalisasi. Gampangnya cuma bagi-bagi sertifikat. Presiden Joko Widodo sesungguhnya tidak benar-benar bekerja mengurai ketimpangan untuk mencapai keadilan agraria. Maaf, presiden Jokowi bukan sahabat kaum tani miskin yang butuh tanah," kata dia.
Selanjutnya, soal anak muda dan bonus demografi
<!--more-->
Selain itu, Fajar juga menyoroti soal klaim Jokowi bahwa Indonesia akan mencapai periode emas pada 2045 karena bonus demografi. Dengan pendidikan yang semakin mahal, terutama pendidikan tinggi, dia menilai hal itu tak akan tercapai.
Dengan sulit dan mahalnya anak muda di Indonesia mendapatkan pendidikan tinggi, Fajar menilai Indonesia tak akan merasakan bonus demografi seperti klaim Jokowi.
Baca selengkapnya di sini: Jokowi Singgung Puncak Bonus Demografi 2030: Peluang Raih Indonesia Emas 2045
Kondisi kehidupan yang sulit, menurut dia, juga mendorong anak muda di Indonesia saat ini memiliki masalah kesehatan mental. Mengutip hasil studi dari The Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) dengan Universitas Gadjah Mada, Fajar menyatakan bahwa satu dari tiga anak muda di Indonesia saat ini memiliki masalah kesehatan mental.
"Kalau tidak ada kebijakan masif untuk memperbaiki kehidupan kaum muda, wajar kalau mereka makin muak pada kekuasaan politik," kata dia.
Karena itu, Partai Buruh pun meminta Presiden Jokowi tak sekedar membesar-besarkan capaian yang telah diperoleh pemerintah saat ini. Dia menilai presiden sebaiknya melakukan evaluasi soal apa yang penting untuk dia lakukan di sisa masa jabatannya.