YLBHI Desak Jokowi dan DPR Evaluasi Polri Ihwal Penyiksaan Tahanan hingga Tewas
Reporter
Eka Yudha Saputra
Editor
Linda novi trianita
Senin, 17 Juli 2023 17:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyebut mekanisme internal melalui Propam Polri dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tidak lagi efektif mengusut dugaan kasus penyiksaan tahanan oleh polisi. Isnur mendesak agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Komisi III DPR RI untuk mengevaluasi kinerja Polri setelah seorang tahanan berinisial Oki Kristodiawan tewas disiksa selama penahanan Polsek Baturaden, Banyumas, 19 Mei 2023. Oki Kristodiawan ditangkap karena dituduh mencuri motor.
Namun menurut pengakuan keluarga, Oki Kristodiawan tidak boleh dijenguk di tahanan sampai 20 hari setelah ia ditangkap. Tiba-tiba pada pertengahan Juli 2023, keluarga mendapatkan kabar Oki Kristodiawan telah meninggal.
Isnur mengatakan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengusut tuntas tindakan penyiksaan pada proses penangkapan dan penahanan terhadap Oki Kristodiawan. “Dengan melihat praktik selama ini, mekanisme internal Kepolisian melalui Propam maupun Kompolnas tidak dapat lagi diharapkan untuk menuntut pertanggungjawaban terkait pengusutan dugaan kasus penyiksaan di lingkungan Polri,” kata Isnur dalam keterangan tertulis, Senin, 17 Juli 2023.
Isnur juga meminta Komisi III DPR melalui fungsi pengawasannya untuk memanggil Kapolri dan mengevaluasi kinerja Kepolisian terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi terhadap Oki Kristodiawan. Isnur menuturkan perlu evaluasi secara menyeluruh kewenangan Kepolisian yang terlalu besar, termasuk audit penggunaan anggaran untuk upaya paksa utamanya penahanan
Selanjutnya, Aliansi mendesak agar Pemerintah dan DPR segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (OPCAT) untuk memperkuat pengawasan dan pemantauan tempat penahanan yang menjadi ruang terjadinya penyiksaan. “Pemerintah dan DPR agar segera mengambil langkah konkret melakukan revisi KUHAP guna menghadirkan pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dalam proses penangkapan dan penahanan,” ujar Isnur.
Isnur menegaskan pernyataan Kapolresta Banyumas yang menyampaikan OK meninggal karena disiksa oleh sesama tahanan patut diperiksa kebenarannya. Menurut dia, jangan sampai hal itu menjadi upaya untuk menutupi kesalahan anggota Kepolisian dengan cara menyalahkan sesama tahanan.
“Karena berdasarkan gambar-gambar yang dikeluarkan oleh LBH Yogyakarta dan YLBHI yang mendampingi OK dan keluarganya, menunjukkan penyiksaan sudah terjadi sejak awal penangkapan oleh anggota Kepolisian,” kata dia.
Selain kasus penyiksaan terhadap korban Oki Kristodiawan yang sudah meramaikan media sosial hingga trending topic di Twitter, baru-baru ini pernyataan Wali Kota Medan, Muhammad Bobby Afif Nasution, yang mendorong kepolisian untuk melakukan tembak di tempat terhadap pelaku begal, juga menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. “Pernyataan tersebut seolah menunjukkan bahwa Pemerintah tidak cukup sensitif terhadap apa yang menimpa Korban Oki Kristodiawan dan juga korban-korban kesewenang-wenangan Aparat Kepolisian lainnya yang melanggar Hak Asasi Manusia,” kata dia.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama 18 LBH Kantor di seluruh Indonesia mencatat dalam kurun waktu 2019-2022 di Jakarta saja, ditemukan 7.632 orang menjadi korban penangkapan sewenang-wenang. 394 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka dan 179 harus ditahan.
Sementara terkait kasus pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing, sepanjang periode 2018-2020 sedikitnya ditemukan 241 kasus dengan 305 korban jiwa, dan dalam satu tahun terakhir YLBHI menangani 10 kasus EJK dengan 10 korban jiwa. Dalam dua tahun terakhir, YLBHI menangani 12 kasus penyiksaan, termasuk kasus penyiksaan yang terjadi di Banyumas.
“Data penanganan kasus YLBHI tersebut juga dikonfirmasi oleh hasil pemantauan yang dilakukan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS),” ujar Isnur.
KontraS mencatat sepanjang Juni 2022 - Mei 2023 setidaknya ditemukan 54 kasus penyiksaan yang mengakibatkan 68 orang luka-luka dan 18 orang tewas. Sebagian besar pelaku dari kasus tersebut adalah anggota Kepolisian, yakni 34 kasus.
Menurut Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian, praktik penyiksaan pada proses penangkapan dan penahanan memang mustahil dihilangkan, jika tidak ada perubahan mendasar melalui revisi KUHAP untuk menghadirkan pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dalam proses penangkapan dan penahanan.
“Hal ini perlu dilakukan sebagai usaha untuk mengakhiri akar penyebab masalah ini yang terletak pada kewenangan Kepolisian yang begitu besar untuk melakukan penangkapan dan penahanan tanpa mekanisme pengawasan yang ketat,” ujar Isnur.
Pasalnya, selama ini penahanan dilakukan oleh aparat Kepolisian dengan begitu mudah, tidak ada kewajiban menghadirkan tersangka ke depan Hakim, keputusan menahan atau tidak menahan pascapenangkapan murni penilaian polisi. Bahkan dalam surat perintah penahanan, tidak ada kewajiban menguraikan alasan penahanan secara substansial.
Isnur memandabg KUHAP ke depan harus diubah untuk memastikan adanya mekanisme yang mewajibkan aparat Kepolisian untuk menghadapkan tersangka kepada Hakim setelah ditangkap.
“Hal ini perlu untuk dilakukan penilaian oleh Hakim mengenai perlu tidaknya dilakukan penahanan sehingga kejadian praktik penyiksaan dalam proses penangkapan dan penahanan dapat diminimalisir,” kata Isnur.
Pilihan Editor: 11 Polisi Diduga Langgar Aturan dalam Kematian Tahanan Polresta Banyumas