Koalisi Sipil Ungkap 6 Poin Revisi UU TNI yang Berdampak Kemunduran Demokrasi dan HAM

Reporter

Tika Ayu

Rabu, 10 Mei 2023 07:01 WIB

Direktur Imparsial Al Araf di kantornya, Jalan Tebet Dalam IV Nomor 5B, Jakarta, 6 Februari 2019. Imparsial meminta restrukturisasi dan reorganisasi TNI harus tepat sasaran. TEMPO/Ahmad Faiz

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (revisi UU TNI). Menurut Koalisi, revisi tersebut merupakan kemunduran demokrasi, memicu kembalinya dwifungsi ABRI.

"Kami menandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini," dalam keterangan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Selasa, 9 Mei 2023.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan gabungan dari Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai upaya pemerintah merevisi UU TNI tidak memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, justru sebaliknya, usulan perubahan jadi kemunduran reformasi TNI. Koalisi menyebut TNI seharusnya menjadi alat pertahanan negara yang profesional.

Centra Initiative, Al Araf, mengatakan dari draf perubahan UU TNI ada enam poin yang disoroti karena membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM.

Advertising
Advertising

Pertama kata Al Araf, terkait perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Dalam revisi UU TNI ini kata Al Araf, merupakan hal keliru.

Pasalnya kata Al Araf, militer adalah sebagai alat pertahanan negara yang dipersiapkan, dididik dan dilatih untuk perang.

"Membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai mereka sebagai ancaman keamanan negara," ujarnya.

Tak hanya itu, Al Araf menyebutkan TNI dijadikan sebagai alat keamanan negara berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. "Mengembalikan format dan fungsi militer seperti di masa rezim otoriter orde baru," ucapnya.

Kedua kata Al Araf, pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI.

"Menjadi berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan," kata Al Araf.

Hal ini, kata Al Araf, membuat TNI dapat menggerakkan operasi militer selain perang tanpa melalui keputusan presiden dengan dalih menghadapi masalah keamanan dalam negeri.

"Hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis," ucapnya.

Padahal kata Al Araf, kewenangan Presiden tersebut diatur dalam Pasal 10 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Hasil Amandemen. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Presiden juga sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata. Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara menegaskan Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan TNI.

"Jadi seharusnya tetap dipertahankan dan tidak boleh dicabut," tegas Al Araf.

Ketiga, adanya perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Ada 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya hanya 14 jenis OMPS TNI.

"Beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung pembangunan nasional," ujarnya Al Araf.

Al Araf menyebutkan diperluasnya dan penambahan cakupan OMSP, mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah.

OMSP juga dipermudah, pasalnya ada usulan perubahan dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR.

"Jika usulan perubahan ini diadopsi, hal ini menjadi berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR," ucapnya.

Al Araf mengatakan keempat, ada perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif.

Selanjutnya: Ruang baru TNI berpolitik
<!--more-->

Dalam draft RUU Pasal 47 point 2 membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru. Di mana TNI dapat dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya.

"Revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik. Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara," katanya.

Menurut Al Araf dengan latar belakang pendidikan militer dilatih dan dipersiapan untuk perang. Militer tidak didesain untuk menduduki jabatan-jabatan sipil. Penempatan yang tidak tepat ini kata Al Araf, bukan hanya salah tapi melemahkan profesionalisme TNI.

"Fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkannya dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan merupakan kompetensinya" katanya.

Al Araf menyebut adanya upaya perluasan ruang bagi perwira TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru. Saat ini menurut Ombudmans RI ada sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Ada juga perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Penjabat Gubernur Provinsi Aceh.

"Oleh karena itu, kalangan elit politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan, semestinya menjaga dan bahkan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini, dan bukan sebaliknya malah mengabaikan sejarah dan secara perlahan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru," katanya.

Kelima kata Al Araf, memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Dalam usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI menyatakan prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998.

"Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI," ucapnya.

Menurut Al Araf, kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

"Sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum," katanya.

Lalu keenam kata Al Araf, adanya perubahan mekanisme anggaran pertahanan dan dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan). Rencana revisi UU TNI kata Al Araf, meliputi perubahan anggaran TNI berasal dari APBN tidak terbatas anggaran pertahanan.

"Hal ini dapat dilihat pada usulan perubahan ketentuan Pasal 66 ayat 1 UU TNI dari yang sebelumnya menyatakan TNI dibiayai dari “anggaran pertahanan negara” yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi “TNI dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”."katanya Al Araf.

Perubahan ini membuat TNI memiliki pos anggaran baru di luar anggaran pertahan. Risikonya kata Al Araf, terbukanya ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah dihapus, dan rawan terjadinya penyimpangan.

Tak hanya itu kata Al Araf, perubahan mekanisme terlihat dari dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan dalam penyusunan anggaran. Hal ini terlihat dari perubahan klausul Pasal 67 yang sebelumnya menyatakan bahwa dalam hal pemenuhan anggaran TNI, Panglima TNI mengajukan kepada Menteri Pertahanan kemudian diubah menjadi mengajukan kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai APBN.

"Menhan tidak hanya sekedar dilangkahi kewenangannya, tapi juga menempatkan proses penyusunan anggaran TNI di luar kontrol pemerintah, dalam hal ini kementerian pertahanan, karena TNI dapat mengajukan sendiri dan langsung kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai dalam APBN," ucap Al Araf.

Koalisi mendesak pemerintah untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI. Menurut koalisi revisi tidak urgen dilakukan saat ini. Juga, subtansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM.

"Adalah lebih baik jika pemerintah saat ini memfokuskan pada penyelesaaian pekerjaan rumah reformasi TNI yang tertunda, seperti reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI," ucapnya.

Pilihan Editor: Jokowi Tolak Usul Luhut Soal Penempatan Militer Aktif di Kementerian

Berita terkait

Alasan Militer Korea Selatan Bakal Larang Penggunaan iPhone dan Apple Watch

1 hari lalu

Alasan Militer Korea Selatan Bakal Larang Penggunaan iPhone dan Apple Watch

Militer Korea Selatan melarang anggotanya menggunakan iPhone bahkan Apple Watch. Apa alasannya?

Baca Selengkapnya

BMTH Harus Beri Manfaat Besar Bagi Masyarakat Bali

1 hari lalu

BMTH Harus Beri Manfaat Besar Bagi Masyarakat Bali

Proyek Bali Maritime Tourism Hub (BMTH) yang sedang dibangun di Pelabuhan Benoa, Bali, harus memberi manfaat yang besar bagi masyarakat Bali.

Baca Selengkapnya

Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

2 hari lalu

Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

Upaya Koalisi Prabowo merangkul rival politiknya dalam pemilihan presiden seperti PKB dan Partai Nasdem, berbahaya bagi demokrasi.

Baca Selengkapnya

MK Gelar Sidang Perdana Sengketa Pileg pada Senin 29 April 2024, Ini Tahapannya

2 hari lalu

MK Gelar Sidang Perdana Sengketa Pileg pada Senin 29 April 2024, Ini Tahapannya

Bawaslu minta jajarannya menyiapkan alat bukti dan kematangan mental menghadapi sidang sengketa Pileg di MK.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Gibran Ikrar Sumpah Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Oktober 2024, Pahami Isinya

2 hari lalu

Prabowo dan Gibran Ikrar Sumpah Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Oktober 2024, Pahami Isinya

Pasca-putusan MK, pasangan Prabowo-Gibrang resmi ditetapkan KPU sebagai pemenang pemilu. Sumpah jabatan mereka akan diikrarkan pada Oktober 2024.

Baca Selengkapnya

Terkini: Anggota DPR Tolak Penerapan Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat, TKN Prabowo-Gibran Sebut Susunan Menteri Tunggu Jokowi dan Partai

2 hari lalu

Terkini: Anggota DPR Tolak Penerapan Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat, TKN Prabowo-Gibran Sebut Susunan Menteri Tunggu Jokowi dan Partai

Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sigit Sosiantomo mengatakan penetapan tarif tiket pesawat harus memperhatikan daya beli masyarakat.

Baca Selengkapnya

Wacana Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat Berpotensi Langgar UU Penerbangan

3 hari lalu

Wacana Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat Berpotensi Langgar UU Penerbangan

Penarikan iuran yang akan dimasukkan dalam komponen perhitungan harga tiket pesawat itu dinilainya berpotensi melanggar Undang-Undang (UU).

Baca Selengkapnya

Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas

3 hari lalu

Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi meminta pemerintah untuk mencari langkah antisipatif untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, salah satunya adalah dengan cara menyisir belanja tidak prioritas.

Baca Selengkapnya

Anggota DPR Tolak Penerapan Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat: Tidak Semua Penumpang Wisatawan

3 hari lalu

Anggota DPR Tolak Penerapan Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat: Tidak Semua Penumpang Wisatawan

Anggota Komisi V DPR RI Sigit Sosiantomo menolak rencana iuran pariwisata di tiket pesawat.

Baca Selengkapnya

DPR Arizona Loloskan Pencabutan Undang-undang Larangan Aborsi

3 hari lalu

DPR Arizona Loloskan Pencabutan Undang-undang Larangan Aborsi

DPR Arizona lewat pemungutan suara memutuskan mencabut undang-undang larangan aborsi 1864, yang dianggap benar-benar total melarang aborsi.

Baca Selengkapnya