Menanti RUU Daerah Kepulauan Segera Disahkan
Selasa, 7 Februari 2023 10:00 WIB
INFO NASIONAL - Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan mendorong agar Rancangan Undang-undang Daerah Kepulauan yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2023 segera dibahas dan disahkan di Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah pusat. BKS Provinsi Kepulauan terdiri dari delapan provinsi kepulauan, yakni Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Ketua Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan yang juga Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi mengatakan, sudah hampir 20 tahun pihaknya bersama daerah provinsi kepulauan memperjuangkan RUU ini agar segera diundangkan atau disahkan. Menurutnya, daerah kepulauan tidak meminta otonomi daerah, tapi perlakuan yang sama antara daerah berciri kepulauan dengan daerah berdiri daratan.
"Sulit kita bicara tentang pendidikan, kesehatan, inflasi, kemiskinan, tentang pekerjaan kalau tidak diatur oleh Undang-undang, oleh karena itu bagaimana RUU tentang Daerah Kepulauan ini diundangkan," kata Ali Mazi dalam Focus Group Discussion Memantapkan Arah RUU Daerah Kepulauan di Jakarta, Selasa, 31 Januari 2023.
RUU Daerah Kepulauan telah dirumuskan, mencakup tinjauan mengenai kondisi riil serta solusi yang diperlukan untuk mengatasi berbagai tantangan dan memperkuat potensi daerah untuk percepatan pembangunan. Namun, RUU tersebut belum juga disahkan. Bahkan mandek dalam proses pembahasan antara DPR dengan pemerintah.
Karena itu, Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan mengambil inisiatif dalam mendorong pengesahan RUU Daerah Kepulauan melalui Focus Group Discussion (FGD). Dari serangkaian diskusi dalam Forum Daerah Kepulauan sebelumnya, terdapat lima usulan opsi tindak lanjut untuk RUU Daerah Kepulauan.
Pertama, mendorong RUU Daerah Kepulauan agar segera dibahas oleh DPR dan pemerintah, sesuai Prolegnas Prioritas 2023, dengan draft yang ada saat ini. Kedua, memperbarui draf RUU Daerah Kepulauan dan mensinkronisasikannya dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan turunannya yang berlaku saat ini.
Ketiga, memasukkan beberapa klausul dalam RUU Daerah Kepulauan ke dalam peraturan yang sedang disusun oleh pemerintah. Salah satunya, peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Keempat, memasukkan sejumlah ketentuan dalam RUU Daerah Kepulauan ke dalam RUU yang masih digodok, misalkan, RUU Pembentukan Daerah. Kelima, membuka dialog dengan pemerintah untuk mencari solusi terbaik.
Dalam diskusi kali ini ditujukan untuk mengerucutkan opsi dan sikap para pemimpin daerah kepulauan atas RUU Daerah Kepulauan. Sebab, diperlukan payung hukum yang spesifik mengenai daerah kepulauan yang tujuan besarnya adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keadilan bagi daerah berciri perairan.
"Kita semua bahkan kami serius, kami tidak main-main, ini adalah kontribusi bagi bangsa dan negara ini, agar benar-benar kita bisa meninggalkan sesuatu buat anak cucu kita kedepan nanti. Semoga forum diskusi ini bermanfaat bagi kita, masyarakat dan pemerintah daerah, Kepulauan serta bangsa dan negara yang kita cintai," ujarnya.
Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, mengatakan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) adalah salah satu dari delapan provinsi kepulauan yang tergabung dalam Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan. "Saya mungkin akan menggambarkan betapa sulitnya membangun kesejahteraan di provinsi kepulauan seperti Kepri," ujar Ansar.
Ansar menjelaskan, Kepri salah satu kepulauan yang cukup besar dengan jumlah pulau sebanyak 2.488 pulau. "Fiskal kita setahun hanya 3,7 triliun. Penduduk kita memang sedikit 2.000.168 orang tapi tinggal di 394 pulau," ujarnya.
Karena itu, Ansar melanjutkan, tidak ada kata lain untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur. "Karena kita mesti didukung dengan kekuatan fiskal yang lebih besar". Apalagi, menurut Ansar, ada sekitar 200-an pulau di wilayahnya yang berbatasan langsung dengan negara lain.
Untuk membangun pulau-pulau yang berbatasan dengan negara lain itu pun tak sekadar menyiapkan infrastruktur. Hal yang lebih penting adalah menjaga kedaulatan negara. Karena itu, keberadaan UU Daerah Kepulauan tidak saja sekadar memperjuangkan kesejahteraan masyarakat, tapi juga membentengi keamanan dan kehormatan bangsa.
Adapun, Guru Besar Kelautan Institut Pertanian Bogor Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan RUU ini bisa mengatasi ketimpangan antar wilayah di Indonesia, sehingga kekuatan ekonomi tidak hanya bertumpu di Jawa.
RUU diharapkan untuk menjadi dasar kebijakan dan proses pembangunan bidang ekonomi, lingkungan, sosial budaya, politik, hukum dan keamanan seperti pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19 dan transformasi struktural ekonomi.
“Lalu meningkatkan daya saing, menjaga kedaulatan pangan, energi, farmasi, dan mineral, serta, resilien terhadap perubahan iklim, bencana alam, dan dinamika geopolitik global,” kata Rokhmin.
Akademisi Bidang Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Nurkholis, mengatakan, upaya pimpinan daerah kepulauan melanjutkan RUU Daerah Kepulauan menjadi undang-undang ini perlu didukung. Sebab, ada gap antara pertumbuhan penduduk dan ekonomi di daerah-daerah kepulauan.
“Gap-nya sekitar 2,5 persen. Pertumbuhan penduduk tumbuh 5 persen, sementara ekonomi cuma tumbuh 2-3 persen," kata dia.
Nurkholis menjelaskan, kontribusi ekonomi Provinsi Kepulauan terhadap PDB Nasional meningkat dalam periode 2010-2021 dan proyeksinya tahun 2022-2030, namun pelan dan masih dibawah kontribusi penduduk. Kontribusi Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan dari Provinsi Kepulauan terhadap nasional juga meningkat dengan pelan dan masih dibawah kontribusi penduduk, baik dalam periode 2010-2021 maupun proyeksinya tahun 2022-2030.
Adapun, PDRB per Kapita Daerah Kepulauan secara rata-rata lebih rendah 30-31 persen dibandingkan dengan nasional dan lebih rendah 31-32 persen dibandingkan dengan Daerah Bukan Kepulauan. PDRB Daerah Kepulauan secara rata-rata tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan dengan nasional dan Daerah Bukan Kepulauan.
Namun, PDRB per Kapita Daerah Kepulauan secara rata-rata tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan nasional dan Daerah Bukan Kepulauan. Secara rata-rata, tingkat kemiskinan di Provinsi Kepulauan lebih tinggi dibanding Provinsi Bukan Kepulauan, dimana perbedaannya secara rata-rata mencapai 0,66 persen pada tahun 2010-2022 dan 0,86 persen pada proyeksi tahun 2023-2030.
Secara rata-rata, IPM di Provinsi Kepulauan lebih rendah dibanding Provinsi Bukan Kepulauan, dimana perbedaannya secara rata-rata mencapai 0,98 pada tahun 2010-2022 dan 0,95 pada proyeksi tahun 2023-2030. Menurut Nurkholis, penyebab utama rendahnya IPM di Provinsi Kepulauan disebabkan oleh rendahnya kondisi pendidikan dan rendahnya daya beli ekonomi masyarakat.
Itu sebabnya, Daerah Kepulauan, khususnya Daerah Kabupaten/Kota Kepulauan, memiliki ketergantungan yang lebih tinggi terhadap Dana Transfer dari Pemerintah Pusat dibandingkan dengan Daerah Bukan Kepulauan. Kebutuhan Daerah Kepulauan untuk Belanja Modal pun lebih tinggi dibandingkan dengan Daerah Bukan Kepulauan.
Karena itu, Nurkholis melanjutkan, RUU Daerah Kepulauan harus diibaratkan sebagai undang-undang khusus (lex specialis) yang mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Sehingga, undang-undang khusus ini dibutuhkan untuk mengatasi konflik antara undang-undang yang lebih luas pengaturannya dengan undang-undang yang lebih sempit substansinya. (*)