4 Komentar Tokoh soal Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang Jeblok
Reporter
Naufal Ridhwan
Editor
Juli Hantoro
Senin, 6 Februari 2023 06:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Laporan Indeks Persepsi Korupsi atau IPK 2022 yang diterbitkan oleh Transparency International mencatat bahwa skor Indonesia dalam indeks tersebut sebesar 34, turun empat poin dari tahun sebelumnya.
Akibatnya, peringkat Indonesia juga turun menjadi 110 dari 180 negara. Melorotnya IPK ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia semakin buruk mengingat tahun sebelumnya Indonesia mendapat skor 38 dengan menempati posisi 96.
Hasil IPK ini membuat banyak tokoh di Indonesia berkomentar. Tempo merangkum 4 tokoh yang mengomentari jebloknya IPK Indonesia, yaitu Mahfud Md, Bambang Wijojanto, Ketua Pukat UGM Totok Dwi Diantoro, dan Koordinator Memanggil 57+ Mochammad Praswad Nugraha.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Jeblok, Mahfud Md: Kerisauan Kami, Tapi...
Mahfud MD: Salah Satu Kerisauan Pemerintah
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyatakan bahwa penurunan IPK Indonesia pada 2022 adalah salah satu permasalahan yang membuat pemerintah cemas.
"Salah satu hal yang dalam tiga hari ini menjadi kerisauan kami pemerintah yang mengurusi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi pada 2022," kata Mahfud MD, dikutip dari Antara, Jumat, 3 Februari 2023.
Ia menyebutkan bahwa pemerintah sebelumnya melakukan reformasi ketika IPK berada pada angka 20, dan setiap tahun IPK terus meningkat hingga mencapai 39 poin pada 2019.
"Apakah korupsi makin banyak? Bisa ya karena buktinya kita menangkap orang, melakukan operasi tangkap tangan. Namun, sebenarnya kalau peningkatan korupsi itu sendiri, yaitu normal, seperti itu terus sejak dahulu," kata Mahfud Md.
Menurut Mahfud, penurunan IPK Indonesia bukan disebabkan oleh penegakan hukum dalam bidang korupsi yang naik, tetapi justru disebabkan oleh masalah birokrasi perizinan yang mempersulit investasi. Oleh karenanya, pemerintah berupaya mengatasi masalah ini dengan menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja untuk mempercepat proses perizinan.
"Secara umum turun karena yang dinilai bukan hanya korupsi, misalnya perizinan usaha. Orang berpendapat banyak kolusi. Mau investasi dipersulit," kata Mahfud.
Selanjutnya, pemerintah telah lakukan upaya pemberantasan korupsi...
<!--more-->
Meski begitu, Mahfud menegaskan bahwa bahwa pemerintah sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi yang luar biasa dalam tiga tahun terakhir.
"Orang pemerintah sendiri ditangkapi semua. Jiwasraya, Asabri, menteri ada dua ditangkap, gubernur dan bupati juga ada yang ditangkap. Ini bukti bahwa pemerintah sudah bersungguh-sungguh memberantas korupsi dalam aspek penindakan," kata Mahfud Md.
Bambang Widjojanto: Kinerja Pimpinan KPK Sangat Buruk
Eks Pimpinan KPK Bambang Widjojanto mengkritik skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang menurun pada 2022. Ia menyatakan bahwa KPK memiliki peran dan tanggung jawab atas penurunan skor IPK Indonesia tersebut.
"Kinerja pimpinan KPK sangat buruk sekali dan memalukan bila dikaitkan dengan nilai CPI Indonesia Tahun 2022. KPK menjadi salah satu yang harus bertanggungjawab," kata Bambang dalam keterangan tertulis pada Ahad, 5 Februari 2023.
Bambang mengatakan bahwa IPK Indonesia yang mendapat nilai 34 menandakan penurunan kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia menyebut bahwa nilai tersebut bahkan lebih rendah dibandingkan nilai satu tahun kepemimpinan Presiden Jokowi pada tahun 2015.
"Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2022 jeblok, bukan hanya merosot," katanya melalui sebuah pernyataan tertulis.
Menurut Bambang, hal yang paling mengerikan adalah Indonesia masuk ke dalam daftar negara berisiko bagi investasi dari segi politik, keuangan, dan ekonomi. Ia menyebut bahwa pada indikator Political Risk Service (PRS) terjadi penurunan 13 poin dari angka 48 menjadi 35.
Ketua Pukat UGM: Komitmen Pemerintah Lemah
Totok Dwi Diantoro, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), mengatakan bahwa penurunan IPK menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam memerangi korupsi.
"Patut diragukan komitmennya," kata Totok pada Rabu, 1 Februari 2023 saat dihubungi Tempo melalui pesan tertulis.
Menurut Totok, lemahnya komitmen tersebut dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Salah satunya adalah revisi Undang-Undang KPK yang disahkan pada 2019.
"Saya melihat bahwa substansi dari revisi UU tersebut merugikan KPK, yang jelas mempengaruhi komponen penilaian yang menyebabkan penurunan IPK," ujarnya.
Selanjutnya peran penting KPK...
<!--more-->
Totok menyatakan bahwa KPK memiliki peran yang sangat penting dalam memerangi korupsi di Indonesia. Ia menilai bahwa KPK lahir dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Namun, situasi saat ini menjadi sangat memprihatinkan, karena KPK mulai terlihat tidak berbeda dengan kepolisian dan kejaksaan.
Koordinator Memanggil 57+: Mencerminkan Keterpurukan Performa Pemberantasan Korupsi
Koordinator Indonesia Memanggil 57+, Mochammad Praswad Nugraha, juga menyatakan pendapat serupa. Menurutnya, jebloknya IPK Indonesia merefleksikan keterpurukan kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ia mengatakan bahwa pemerintah memukul mundur kerja pemberantasan korupsi secara terang-terangan. "Contohnya, revisi UU KPK, tak terungkapnya pelaku intelektual penyerangan Novel Baswedan, dan lain-lain," kata eks penyidik senior KPK tersebut.
Ia juga memperingatkan bahaya yang akan terjadi jika keterpurukan pemberantasan korupsi terus dibiarkan. Menurutnya, hal tersebut akan merusak segala aspek kehidupan masyarakat, seperti pelanggaran hak asasi manusia, penurunan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan lain-lain.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Melorot, Partai Ummat Melihat Tak Ada Keseriusan Pemerintah
EIBEN HEIZAR | MIRZA BAGASKARA