Kontras Temukan 7 Kejanggalan Vonis 2 Polisi Penembak 4 Anggota FPI

Reporter

M Rosseno Aji

Editor

Febriyan

Minggu, 20 Maret 2022 12:52 WIB

Hakim ketua mengetok palu bahwa terdakwa di vonis bebas di ruang persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat 18 Maret 2022. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan dua polisi penembak Laskar FPI, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella. Hakim menilai perbuatan mereka dalam rangka pembelaan di situasi tertentu. Tempo/Muhammad Syauqi Amrullah

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan sejumlah kejanggalan dalam vonis dua polisi, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella, penembak empat laskar Front Pembela Islam (FPI) hingga tewas. Temuan dan keganjilan ini berpotensi mengakibatkan tidak maksimalnya proses peradilan dalam mencari kebenaran materiil.

"Dalam pemantauan tersebut, kami menemukan sejumlah temuan dan keganjilan atas proses hukum terhadap para terdakwa," kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti lewat keterangan tertulis Ahad, 20 Maret 2022.

Fatia mengatakan keganjilan pertama, sejak masa penyidikan kedua terdakwa tak pernah ditahan. Padahal aparat penegak hukum memiliki alasan yang kuat untuk melakukan penahanan kepada para terdakwa, baik secara syarat bukti, maupun syarat hukum yang mensyaratkan tersangka dapat dilakukan penahanan apabila ancaman pidana penjaranya 5 tahun atau lebih.

Kedua, kata dia, adanya kelalaian dari para terdakwa ketika membawa keempat anggota Laskar FPI, sehingga berpotensi menimbulkan gangguan keamanan. Dalam proses persidangan, kata Fatia, terungkap bahwa terdapat prosedur yang harus dijalankan oleh anggota kepolisian apabila membawa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.

Hal itu diatur dalam Peraturan Kepada Badan Pemeliharaan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkabaharkam) Nomor 3 Tahun 2011 tentang pengawalan. Pada intinya dalam peraturan tersebut diharuskan bagi anggota Polri untuk memeriksa terduga pelaku secara cermat dan memborgol kedua tangannya guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Advertising
Advertising

Selain itu, Fatia menuturkan dalam melakukan pengawalan pada malam hari juga merupakan suatu larangan. Kalaupun terpaksa terduga pelaku harus dibawa ke kantor kepolisian terdekat. Namun demikian, hal tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga berpotensi pada gangguan keamanan anggota Polri itu sendiri.

Fatia menuturkan kejanggalan ketiga dalam proses persidangan terdapat perbedaan keterangan terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dengan Berita Acara Pemeriksaan. Pada proses persidangan Fikri menjelaskan terjadi perebutan senjata api milik terdakwa dengan beberapa anggota Laskar FPI saat membawa mereka ke tempat tujuan.

Dalam perebutan senjata api tersebut, terdakwa mengaku senjata api tersebut telah direbut. Namun, dalam BAP justru menyatakan sebaliknya bahwa yang terjadi hanyalah berusaha direbut. "Keterangan ini penting karena akan bedampak sejauh mana tahapan penggunaan kekuatan yang dapat digunakan ketika menghadapi sebuah ancaman," kata dia.

Keempat, Kontras menilai keempat Laskar FPI mengalami kekerasan sebelum ditangkap. "Kami berpendapat tindakan kekerasan yang diduga dialami oleh keempat anggota Laskar FPI tidak dapat dibenarkan secara hukum dan hak asasi manusia," kata Fatia.

Kejanggalan kelima, menurut Fatia, warga sekitar yang menyaksikan kejadian itu diduga mengalami intimidasi. Warga diminta untuk tidak mengambil video. Fakta tersebut, kata dia, muncul dalam persidangan. Menurut dia, intimidasi itu merupakan upaya mengaburkan fakta dan menghilangkan jejak.

Keenam, kata dia, ahli forensik dalam persidangan mengatakan korban mengalami luka tembak di titik yang mematikan. Menurut dia, tembakan di titik vital itu tidak mungkin terjadi dalam peristiwa perebutan senjata. Selain itu, kata dia, adanya peristiwa perebutan senjata itu juga belum dibuktikan di persidangan.

"Harusnya aparat penegak hukum dapat membuktikan hal tersebut, misalnya dibuktikan dengan adanya jejak sidik jari korban pada senjata api yang diperebutkan," kata dia.

Ketujuh, Fatia mengatakan dalam pertimbangan putusan, Majelis Hakim berpendapat tindakan terdakwa dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Menurut dia, alasan itu patut dipertanyakan karena dia menilai tindakan penembakan itu tidak memenuhi prinsip nesesitas, proporsionalitas dan masuk akal.

"Kalaupun penggunaan senjata api tersebut diperlukan, penembakan yang dilakukan sudah semestinya ditujukan pada titik yang melumpuhkan bukan pada titik yang mematikan," kata Fatia.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat kemarin memvonis lepas Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella dalam perkara tewasnya empat anggota FPI. Keduanya dianggap melakukan penembakan kepada empat korban karena membela diri.

Baca: Ayah Laskar FPI: Anak Saya Dilubangi Empat Peluru tapi Penembaknya Bebas

Berita terkait

Kecelakaan Maut Terjadi di KM 58 Tol Jakarta-Cikampek, Pernah Terjadi Pula Tragedi Unlawful Killing di KM 50

15 hari lalu

Kecelakaan Maut Terjadi di KM 58 Tol Jakarta-Cikampek, Pernah Terjadi Pula Tragedi Unlawful Killing di KM 50

Tol Cikampek Kilometer atau KM 50-an kembali menjadi lokasi tragedi. Sebuah kecelakaan maut terjadi di KM 58 Tol Jakarta-Cikampek pada arus mudik lalu

Baca Selengkapnya

Pro-Kontra atas Keputusan TNI Kembali Gunakan Istilah OPM

17 hari lalu

Pro-Kontra atas Keputusan TNI Kembali Gunakan Istilah OPM

Penyebutan OPM bisa berdampak negatif karena kurang menguntungkan bagi Indonesia di luar negeri.

Baca Selengkapnya

Soal Perubahan Istilah KKB Jadi OPM, Begini Kritik Komisi I DPR RI, Pakar Militer, hingga KontraS

18 hari lalu

Soal Perubahan Istilah KKB Jadi OPM, Begini Kritik Komisi I DPR RI, Pakar Militer, hingga KontraS

Perubahan penyebutan istilah KKB jadi OPM menuai kritik dari sejumlah pihak. Apa saja kritik mereka?

Baca Selengkapnya

Ragam Reaksi atas Keputusan TNI Kembali Pakai Istilah OPM

19 hari lalu

Ragam Reaksi atas Keputusan TNI Kembali Pakai Istilah OPM

Penggantian terminologi KKB menjadi OPM dinilai justru bisa membuat masalah baru di Papua.

Baca Selengkapnya

KontraS Desak Pemerintah Mitigasi Dampak Perubahan Istilah KKB bagi Keamanan di Papua

20 hari lalu

KontraS Desak Pemerintah Mitigasi Dampak Perubahan Istilah KKB bagi Keamanan di Papua

KontraS mengatakan perubahan nama KKB menjadi OPM itu harus diikuti dengan jaminan perlindungan dari negara bagi masyarakat yang ada di Papua.

Baca Selengkapnya

3 Anggota TNI AL di Halmahera Selatan Lakukan Penganiayaan Jurnalis, Begini Kecaman dari Dewan Pers, AJI, dan KontraS

29 hari lalu

3 Anggota TNI AL di Halmahera Selatan Lakukan Penganiayaan Jurnalis, Begini Kecaman dari Dewan Pers, AJI, dan KontraS

Penganiayaan jurnalis oleh 3 anggota TNI AL terjadi di Halmahera Selatan. Ini respons Dewan Pers, AJI, dan KontraS. Apa yang ditulis Sukadi?

Baca Selengkapnya

Anggota TNI Diduga Siksa Jurnalis di Halmahera Selatan, KontraS: Tak Manusiawi

31 hari lalu

Anggota TNI Diduga Siksa Jurnalis di Halmahera Selatan, KontraS: Tak Manusiawi

Danlanal Ternate meminta maaf atas insiden kekerasan terhadap wartawan yang terjadi di Bacan, Halmahera Selatan.

Baca Selengkapnya

KontraS Sebut Langkah TNI Tangani Kasus Papua Belum Cukup, Perlu Evaluasi Total

37 hari lalu

KontraS Sebut Langkah TNI Tangani Kasus Papua Belum Cukup, Perlu Evaluasi Total

KontraS mengatakan perlu dilakukan evaluasi total seluruh langkah dan pendekatan keamanan yang selama ini berlangsung di Papua.

Baca Selengkapnya

Datangi Kempolrienpan RB, KontraS Minta Hentikan RPP Penempatan Jabatan Sipil TNI - Polri

41 hari lalu

Datangi Kempolrienpan RB, KontraS Minta Hentikan RPP Penempatan Jabatan Sipil TNI - Polri

KontraS mendatangi Kemenpan RB untuk memberikan catatan kritis RPP tentang manajemen ASN terutama pasal penempatan jabatan sipil oleh TNI-Polri.

Baca Selengkapnya

MK Hapus Pasal Keonaran dan Berita Bohong, Fatia Maulidiyanti: Pasal Ini Hukumannya Berat

41 hari lalu

MK Hapus Pasal Keonaran dan Berita Bohong, Fatia Maulidiyanti: Pasal Ini Hukumannya Berat

Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim mengatakan putusan MK yang menghapus pasal 14 dan 15 UU 1 Tahun 1946 merupakan angin segar bagi jurnalis.

Baca Selengkapnya