RUU TPKS: Pemerintah Usul Pasal Perkawinan Paksa dan Perbudakan Seksual
Reporter
Linda novi trianita tnr
Editor
Aditya Budiman
Selasa, 22 Februari 2022 15:57 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah mengirim surat presiden berserta daftar inventarisasi masalah mengenai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ke Dewan Perwakilan Rakyat pada Jumat, 11 Februari lalu. Ketua Gugus Tugas RUU TPKS dari pemerintah, Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan Surpres dan DIM yang diterima Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad tersebut berisi 588 DIM.
Daftar Inventarisasi Masalah itu terdiri atas 167 tetap, 68 redaksional, 31 reposisi, 202 substansi, 120 substansi baru. Draf RUU ini terangkum dalam 12 bab dan 81 pasal. Dari DPR, draf RUU ini memuat 12 bab dan 73 pasal.
“Di RUU ini, kami menambah pasal perkawinan paksa dan perbudakan seksual,” ujar pria yang disapa Eddy itu kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Selasa, 22 Februari 2022.
Wakil Menteri Hukum dan HAM tersebut tidak memungkiri pasal perkawinan paksa bakal ramai diperbincangkan. Sebab, banyak orang tua di Indonesia yang masih memaksa anak-anaknya yang di bawah umur untuk menikah. Pasal ini akan berlaku jika ada delik aduan dan paksaan kawin terhadap anak di bawah umur.
Ihwal pasal perbudakan seksual, ia memastikan, maknanya lebih luas dari yang dimaksud di Undang-Undang Perdagangan Orang. “Kalau UU Perdagangan Orang, motifnya pasti ekonomi. Kalau di RUU TPKS, orang yang tidak dalam konteks kepentingan ekonomi bisa dijerat,” kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu.
Eddy mencontohkan tragedi seperti pemerkosaan dan penyiksaan seksual di Rumah Geudong, Aceh pada 1998 bisa dijerat dengan UU TPKS.
Dia menegaskan UU ini lebih menitikberatkan pada hukum acara. Sebab, selama ini hukum di Indonesia belum menampung pasal-pasal ihwal kekerasan seksual.
Misalnya saja, ia menyebutkan, laporan Komnas Perempuan, Komnas HAM, maupun KPAI mencatat ada 6.000 kasus kekerasan seksual yang terjadi. Namun yang bisa sampai ke pengadilan tidak sampai 300 kasus. “Ini di bawah 5 persen. Apa yang sebenarnya terjadi? Ada sesuatu yang salah dengan hukum acara kita sehingga tidak bisa diproses,” ucap Eddy.
Karena itu, Gugus Tugas RUU TPKS dari pemerintah selalu melibatkan Polri dan Kejaksaan dalam menyusun DIM ini. “Yang menyusun formulasi pidananya jaksa dan polisi. Jadi kami sangat bersyukur Kejagung dan Polri menurunkan personel yang tidak hanya cerdas, tapi memiliki pengalaman di lapangan,” kata Eddy.
Pemerintah dan DPR tengah mengebut pengesahan RUU TPKS. Draf beleid yang dulunya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini telah melewati proses sulit dan panjang sejak 2016. Saat paripurna 18 Januari lalu, DPR akhirnya menyatakan RUU ini sebagai inisiatif mereka.
Baca: DPR Diminta Bahas RUU TPKS dengan Metode per Klaster dan Simulasi
LINDA TRIANITA