Alissa Wahid Sebut Pemerintah Rusak Tatanan Sosial di Desa Wadas
Reporter
Moh Khory Alfarizi
Editor
Syailendra Persada
Selasa, 15 Februari 2022 06:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid terlibat dalam advokasi insiden di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Dia mengaku datang langsung menemui warga yang pro dan kontra terhadap proyek pembangunan Bendungan Bener dan tambang batu andesit di Wadas, pada Sabtu, 12 Februari 2022.
Ia mengatakan menemukan pola yang sama pada insiden tersebut termasuk problem-problem yang mendasar.
“Misalnya mulai dari di Kendeng dulu, Sukolilo, lalu Rembang, kemudian beberapa konflik lain yang lebih kecil skalanya seperti di Kendal, dan berbagai tempat itu, sebetulnya kita melihat pola yang sama,” ujar dia dalam diskusi virtual Pembangunan dan Perdamaian Meretas Petaka Wadas yang digelar Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP), Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin, 14 Februari 2022.
Dalam rapat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang melibatkan PWNU Jawa Tengah dan PCNU Purworejo, terungkap banyak warga yang pro proyek tersebut ternyata cukup banyak. Selain itu, ia mengakui ada juga ketegangan yang terjadi antara dua kelompok warga, baik yang pro maupun kontra.
“Warga yang pro ini merasa dijadikan social out case. Inilah sesuatu yang menurut saya sebagai psikolog adalah dinamika yang sangat lumrah antara warga yang berbeda pendapat,” katanya.
Namun, Alissa melanjutkan, yang cukup menyedihkan adalah hal itu terjadi justru setelah muncul inisiatif program pemerintah. Dia melihat bahwa justru program pemerintah menghancurkan tatanan sosial di Desa Wadas.
Putri sulung Presiden Keempat Abdurrahman Wahid atau Gusdur itu juga telah menemui sekitar enam ibu-ibu yang pro proyek penambangan. Dia bertanya saat mengambil keputusan setuju dengan proyek bagaimana prosesnya. Para warga, kata Alissa, mengatakan bahwa mereka sempat dikumpulkan. Kemudian, warga mendapat penjelasan terkait pembangunan bendungan, serta tanah akan digunakan pemerintah.
“Ini sangat dasar dan fundamental yang kita temukan di berbagai tempat. Mereka mengatakan begini, ‘ya kan kalau tanah, batu, dan air itu kan punya negara, jadi kalau negaranya minta ya harus diberikan’, Itu jawaban mereka,” kata Alissa.
Alissa mengatakan para warga dijanjikan desanya akan jadi tempat wisata, dan mereka bisa bekerja. “Nah ini pola-pola ini saya temukan juga waktu di Kendeng ketika warga masyarakat itu berangan-angan bahwa nanti akan diserap sebagai tenaga kerja di pabrik semen begitu,” ujar Alissa.
Dia melihat bahwa pendekatan pembangunan yang dilakukan pemerintah di Desa Wadas tidak inklusif. Artinya tidak menyertakan masyarakat dan tidak benar-benar memikirkan kesejahteraan masyarakat di porosnya.
Baca juga: Begini Saran dan Rekomendasi Komisi III Soal Insiden di Wadas