TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah resmi menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura pada 25 Januari 2022. Penandatanganan tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah membawa para narapidana, terutama koruptor, yang lari ke Singapura kembali ke Indonesia.
Ekstradisi merupakan sebuah proses penangkapan narapidana yang bersifat lintas teritorial. Dilansir dari cfr.org, ekstradisi umumnya dilakukan dengan membentuk sebuah kertas perjanjian antara dua negara.
Kertas perjanjian itu nantinya akan menjadi landasan hukum untuk mengembalikan seorang narapidana ke negara asalnya. Tidak hanya mengembalikan, negara asal juga berwenang untuk mengadili narapidana tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sah di negaranya.
Dilansir dari law.cornell.edu, perjanjian ekstradisi biasanya dilatarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa larinya narapidana ke luar negeri. Narapidana yang melarikan diri ke luar negeri umumnya merupakan koruptor, teroris, dan penjahat HAM.
Mereka memilih untuk melarikan diri ke luar negeri karena memiliki jejaring lintas teritorial yang luas. Selain menghindarkan diri dari jerat hukum, narapidana seperti koruptor biasanya juga berkepentingan untuk mengamankan harta-harta hasil kejahatannya ketika melarikan diri ke luar negeri.
Di Indonesia, perjanjian ekstradisi dengan Singapura telah dilakukan sebanyak dua kali. Pemerintah Indonesia pernah meneken perjanjian ekstradisi dengan Singapura pada 2007, tetapi ditolak oleh DPR karena ada potensi ancaman terhadap kedaulatan wilayah Indonesia.
Ancaman tersebut datang dari salah satu pasal perjanjian ekstradisi yang menyatakan bahwa Singapura boleh menggunakan beberapa wilayah udara Indonesia.
BANGKIT ADHI WIGUNA | BISNIS
Baca juga: Indonesia-Singapura Teken Perjanjian Ekstradisi: Ini Seluk-beluk Ekstradisi