Awal Mula Kasus Satelit Orbit 123 di Kementerian Pertahanan
Reporter
Egi Adyatama
Editor
Aditya Budiman
Jumat, 14 Januari 2022 15:19 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah lewat Kejaksaan Agung mulai mengusut dugaan pelanggaran hukum dalam pengelolaan satelit untuk slot orbit 123 Bujur Timur yang terjadi sejak 2015 di Kementerian Pertahanan. Pelanggaran itu disebut menyebabkan kerugian negara hingga miliaran rupiah.
"Karena oleh pengadilan negara ini kemudian diwajibkan untuk membayar uang yang sangat besar padahal kewajiban itu lahir dari sesuatu yang secara prosedural salah," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, dalam konferensi pers, Kamis, 13 Januari 2022.
Menurut Mahfud, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan telah mengingatkan masalah ini dalam rapat terbatas pada 2018. Saat itu Menko Polhukam masih dijabat oleh Wiranto. Tiga tahun berjalan, baru pada awal 2022 pemerintah mengumumkan akan mulai mengusut masalah ini.
Kasus ini bermula pada 19 Januari 2015 saat Satelit Garuda-1 keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur. Hal ini membuat terjadinya kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Merujuk pada peraturan International Telecommunication Union (ITU) yang ada di bawah PBB, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk kembali mengisi slot itu. Jika tak dipenuhi maka slot dapat digunakan negara lain.
Di Indonesia, slot ini dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Namun Kementerian Pertahanan kemudian meminta hak pengelolaan ini dengan alasan pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Untuk mengisi slot itu, mereka menyewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit (floater) milik Avanti Communication Limited (Avanti).
Dari sini masalah mulai muncul. Mahfud Md mengatakan Kemenhan membuat kontrak dengan Avanti, Kemenhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Kontrak dengan Avanti diteken pada 6 Desember 2015, padahal persetujuan di Kominfo untuk pengelolaan slot orbit 123 baru keluar 29 Januari 2016. "Belum ada kewenangan dari negara dalam APBN bahwa harus mengadakan itu, melakukan pengadaan satelit dengan cara cara itu," kata Mahfud.
Lebih parah, kontrak tak hanya dilakukan dengan Avanti. Untuk membangun Satkomhan, Kemenhan juga menandatangani kontrak dengan Navajo, Airbus, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016. Menurut Mahfud, saat itu juga anggaran belum tersedia. Pada 2016 anggaran sempat tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemenhan.
Pada 25 Juni 2018, Kemenhan mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 Bujur Timur pada Kemenkominfo. Di bawah Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Rudiantara, keputusan tentang penggunaan filing satelit Indonesia pada orbit 123 Bujur Timur untuk filing satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A diberikan pada pihak swasta, yakni PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).
Bertahun berlalu, PT DNK juga tak mampu menyelesaikan residu permasalahan akibat Satkomhan. Malah, Avanti kemudian menggugat Indonesia ke Pengadilan Arbitrase Inggris. Mereka menuding Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang ditandatangani.
<!--more-->
Pada 9 Juli 2019, Pengadilan Arbitrase Inggris memutus Indonesia harus membayar denda sebesar Rp 515 miliar. Denda itu terkait dengan biaya sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, biaya filing satelit. Menurut Mahfud Indonesia telah membayar denda ini. "Jadi negara membayar 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," kata Mahfud Md.
Belum selesai di situ, belakangan Navajo juga menggugat Indonesia. Kali ini di Pengadilan Arbitrase Singapura. Sama halnya dengan di Inggris, pengadilan juga memutus Indonesia harus membayar denda. Kali ini besarnya Rp 304 miliar.
Mahfud mengatakan jika dibiarkan, kasus ini akan terus merugikan Indonesia. Apalagi ada kemungkinan perusahaan lain yang terkait dengan kontrak juga akan menggugat Indonesia.
Mahfud pun mengadakan rapat dengan sejumlah kementerian dan lembaga, mulai dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, hingga Jaksa Agung ST Burhanuddin. Hasilnya, saat ini kasus akan segera mulai diusut secara resmi.
Jumat, 14 Januari 2022 Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan bahwa kasus ini akan segera masuk ke tahap penyelidikan. Kasus akan ditangani oleh Jaksa Umum Pidana Khusus Kejaksaan Agung.
"Hari ini kami tandatangani surat perintah penyidikannya. Kemudian nanti kalau kasus posisinya apapun, tanyakan ke Jampidsus," kata Burhanuddin.
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa pun menyebut ada indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum. Ia pun berjanji untuk mendukung penegakan hukum terhadap anggotanya, jika memang terbukti bersalah.
Langkah penegakan hukum oleh pemerintah, kata dia, akan dimulai jika nama-nama anggota yang diduga terlibat sudah keluar. "Jadi kami menunggu untuk nama-namanya yang masuk dalam kewenangan kami," kata Andika ihwal kasus satelit orbit di Kementerian Pertahanan.
Baca: Terpojok Proyek Jenderal Scotch
MAJALAH TEMPO