Daftar Obat Terapi Covid-19 Baru Usulan Organisasi Profesi, Tak Ada Oseltamivir
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Syailendra Persada
Senin, 2 Agustus 2021 16:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan atau Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan telah meminta tolong lima organisasi profesi kedokteran untuk mengkaji protokol penanganan Covid yang lebih sesuai dengan varian delta. Salah satunya adalah merevisi daftar obat terapi Covid-19.
Budi mengatakan hal ini dilakukan sesuai arahan Presiden Joko Widodo ihwal penanganan medis bagi pasien Covid-19.
"Mereka sudah mengajukan tata laksana baru yang memang lebih sesuai dengan mutasi delta, komposisi obat-obatan yang dibutuhkan juga agak berubah sedikit," kata Budi dalam konferensi pers, Senin, 2 Agustus 2021.
Dalam tata laksana terapi Covid-19 yang baru, organisasi profesi tak lagi menyertakan oseltamivir dalam daftar obat-obatan bagi pasien. Adapun dalam protokol sebelumnya, oseltamivir tercantum sebagai obat bagi pasien Covid-19 dengan gejala ringan.
Beberapa obat dan multivitamin yang masih dianjurkan untuk terapi pasien Covid-19 di antaranya vitamin C, D, dan/atau obat-obat suportif untuk pasien tanpa gejala; vitamin C, D, favipiravir, pengobatan simtomatis, dan obat-obat suportif untuk pasien ringan; kemudian vitamin C, D, favipiravir atau remdesivir, antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP, pengobatan simtomatis, dan pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada untuk gejala sedang.
Sedangkan untuk pasien berat atau kritis, terapinya menggunakan vitamin C, B1, D, favipiracir atau remdesivir, kortikosteroid, anti IL-6 (tocilizumab/sarilumab), pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada, antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP, dan terapi tatalaksana syok bila terjadi. Selain oseltamivir, daftar obat yang dikeluarkan dalam tata laksana yang baru ini ialah azitromisin.
Oseltamivir sempat menjadi perhatian lantaran Presiden Joko Widodo menyebut nama obat tersebut saat blusukan ke apotek di Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Ketika itu, epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengkritik Presiden lantaran oseltamivir merupakan obat keras yang juga sudah tak direkomendasikan oleh organisasi profesi.
Budi Gunadi mengatakan kebutuhan obat memang sempat meningkat pesat sejak 1 Juni 2021. Dia mengatakan, kelangkaan obat terjadi akibat selisih waktu antara naiknya kebutuhan dan kecepatan produksi, mulai dari proses mendatangkan bahan baku, memproduksi obat, hingga distribusi ke apotek-apotek.
"Dari mulai produksi, dari impor (bahan baku), proses, sampai distribusi ke apotek butuh waktu empat sampai enam minggu. Ini yang menyebabkan kemarin saat wave ini masuk kita tidak siap langsung dengan obat-obatannya," ujarnya.
Meski begitu, Budi mengatakan Kementerian Kesehatan telah beberapa kali berbicara dengan Gabungan Pengusaha Farmasi ihwal kebutuhan obat-obatan ini. Dia mengatakan, GP Farmasi akan memproduksi obat-obatan yang diperlukan untuk terapi Covid-19. "Sekarang sudah mulai hasil produksi di dalam negeri dari teman-teman GP Farmasi dan beberapa obat dari impor," kata Budi.
Beberapa obat impor yang akan masuk yakni remdesivir, tocilizumab 400mg/20ml, dan IVIg 5% 50mg. Kemenkes pun memantau stok obat untuk bulan keperluan sepanjang Agustus.
Selain itu, Budi melanjutkan, Kemenkes bekerja sama dengan rumah sakit melakukan uji klinis terapi beberapa obat baru. Dia berharap obat-obatan baru itu dapat mengurangi tekanan kebutuhan obat impor yang harganya mahal.
"Sehingga variasi dari tata laksana uji klinis perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit semakin kaya, semakin sophisticated, advance, dan dekat perbedaan kualitas treatment-nya dengan yang dilakukan di rumah sakit negara-negara maju," ujarnya soal obat terapi Covid-19.
Baca juga: Pandu Riono Minta Pemerintah Setop Distribusi Obat Terapi Covid-19 ke Pasien Isolasi Mandiri