Lokataru: Revisi UU ITE Tak Bisa Ujug-ujug Pulihkan Demokrasi

Rabu, 17 Februari 2021 13:20 WIB

Seorang wanita menunjukkan poster tuntutan saat sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar aksi jalan mundur dalam car free day di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad, 29 September 2019. Dandhy ditangkap pada Kamis (26/9) dan dilepaskan pada Jumat (27/9) dengan status tersangka terkait pelanggaran UU ITE. TEMPO/M Taufan Rengganis

TEMPO.CO, Jakarta - Lokataru Foundation menilai, pernyataan Presiden Joko Widodo yang ingin merevisi Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tak bisa serta merta memulihkan demokrasi.

Manajer Program Lokataru Foundation, Mirza Fahmi, melihat ada tiga hal yang bisa disikapi dari pernyataan Jokowi.

"Pertama, pernyataan Presiden di tengah tekanan ini dapat dilihat sebagai upaya memperbaiki wajah demokrasi yang lesu selepas indeks demokrasi Indonesia dinyatakan menurun," ucap Mirza dalam konferensi pers daring pada Rabu, 16 Februari 2021.

Menurut Mirza, hal ini bisa menjadi momentum bagi Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang hendak berpegang pada prinsip restorative justice, untuk sesegera mungkin memulihkan korban-korban kriminalisasi pasal karet dari beleid yang ditandatangani 2011 silam. Hal ini untuk menunjukkan penyesalan atas praktik pemidanaan via Undang-undang ITE selama ini.

Baca juga: Jokowi Minta Polisi Tak Serampangan Gunakan UU ITE

Advertising
Advertising

Mirza mengatakan hal kedua dan yang tak kalah penting menyangkut kualitas masyarakat sipil itu sendiri. Apesnya, akibat frekuensi serangan pemerintah terhadap kebebasan berpendapat yang amat masif di dalam keseharian, masyarakat kerap luput melihat bahwa mereka sesungguhnya juga punya kontribusi yang tak sedikit terhadap kemunduran demokrasi.

Sejak 2018, dua kelompok terbesar pelapor Undang-undang ITE adalah pejabat publik dan masyarakat sipil. 35,9 persen pelapor adalah kepala daerah, menteri, aparat keamanan, dan pejabat publik lainnya. Sedangkan pelapor dari masyarakat sendiri tercatat mencapai 32,2 persen. Di 2019, data yang dihimpun SAFENet menunjukkan setidaknya ada 3100 kasus Undang-undang ITE yang dilaporkan.

Mirza menyatakan, perbedaan tipis antara jumlah pelapor warga dan pemerintah membuktikan bahwa masyarakat sipil sendiri gagal memahami dan mempraktekkan kebebasan berekspresi. Tak ubahnya tabiat pemerintah, semangat memenjarakan lawan bicara nyatanya ikut lestari di masyarakat.

Lokataru Foundation menilai revisi UU ITE tak akan banyak mengurangi kemampuan negara dalam mengkriminalisasi warga. "Ini bukan hanya soal dokumen hukum semata, tetapi kemampuan pemerintah, termasuk warganya, yang masih dipertanyakan saat berjumpa dengan kritik di ruang publik," kata Mirza.

Berita terkait

Demo Dukung Palestina di Kampus AS Diberangus Polisi, PM Bangladesh: Sesuai Demokrasi?

3 hari lalu

Demo Dukung Palestina di Kampus AS Diberangus Polisi, PM Bangladesh: Sesuai Demokrasi?

Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengkritik pemerintah Amerika Serikat atas penggerebekan terhadap protes mahasiswa pro-Palestina

Baca Selengkapnya

Presiden Jokowi dalam Sorotan Aksi Hari Buruh Internasional Kemarin

4 hari lalu

Presiden Jokowi dalam Sorotan Aksi Hari Buruh Internasional Kemarin

Aksi Hari Buruh Internasional pada Rabu kemarin menyoroti janji reforma agraria Presiden Jokowi. Selain itu, apa lagi?

Baca Selengkapnya

Massa Aksi May Day Bakar Baliho Jokowi dan Hakim MK Sebagai Bentuk Kekecewaan

5 hari lalu

Massa Aksi May Day Bakar Baliho Jokowi dan Hakim MK Sebagai Bentuk Kekecewaan

Peserta aksi Hari Buruh Internasional atau May Day membakar baliho bergambar Presiden Jokowi di kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jakpus

Baca Selengkapnya

Ini Pertimbangan Hakim Tolak Gugatan terhadap Rocky Gerung

6 hari lalu

Ini Pertimbangan Hakim Tolak Gugatan terhadap Rocky Gerung

Hakim menilai pernyataan Rocky Gerung sebagai kritik terhadap kebijakan publik, bukan serangan personal terhadap individu.

Baca Selengkapnya

Dosen Filsafat UGM Sebut Pentingnya Partai Oposisi: Jika Tidak Ada, Maka Demokrasi Tambah Merosot Jauh

6 hari lalu

Dosen Filsafat UGM Sebut Pentingnya Partai Oposisi: Jika Tidak Ada, Maka Demokrasi Tambah Merosot Jauh

Keberadaan partai oposisi sangat penting untuk memberikan pengawasan dan mengontrol jalannya pemerintahan. Ini pendapat dosen filsafat UGM.

Baca Selengkapnya

Mengenal Fungsi Oposisi dalam Negara Demokrasi

7 hari lalu

Mengenal Fungsi Oposisi dalam Negara Demokrasi

Isu tentang partai yang akan menjadi oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran kian memanas. Kenali fungsi dan peran oposisi.

Baca Selengkapnya

Anandira Puspita akan Jalani Sidang Perdana Praperadilan di PN Denpasar pada 6 Mei 2024

10 hari lalu

Anandira Puspita akan Jalani Sidang Perdana Praperadilan di PN Denpasar pada 6 Mei 2024

Anandira Puspita, akan menjalani sidang praperadilan perdana di Pengadilan Negeri atau PN Denpasar, Senin, 6 Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

10 hari lalu

Koalisi Prabowo Rangkul PKB dan Partai Nasdem Bahayakan Demokrasi

Upaya Koalisi Prabowo merangkul rival politiknya dalam pemilihan presiden seperti PKB dan Partai Nasdem, berbahaya bagi demokrasi.

Baca Selengkapnya

Polda Metro Jaya Tangkap 4 Tersangka Judi Online, Pengelola Akun YouTube BOS ZAKI

10 hari lalu

Polda Metro Jaya Tangkap 4 Tersangka Judi Online, Pengelola Akun YouTube BOS ZAKI

Tim Penyidik Subdit Cyber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menangkap paksa empat tersangka dugaan tindak pidana judi online

Baca Selengkapnya

Palti Hutabarat Didakwa Pasal Berlapis di Kasus Rekaman Suara Kades Diminta Menangkan Prabowo

11 hari lalu

Palti Hutabarat Didakwa Pasal Berlapis di Kasus Rekaman Suara Kades Diminta Menangkan Prabowo

Kasus Palti Hutabarat ini bermula saat beredar video dengan rekaman suara tentang arahan untuk kepala desa agar memenangkan Prabowo-Gibran

Baca Selengkapnya