Direktur Indikator Ungkap Alasan Pemerintah Ingin Pilkada 2024
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Aditya Budiman
Senin, 8 Februari 2021 18:12 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi membeberkan sejumlah alasan yang dia dengar ihwal alasan pemerintah dan beberapa pihak menginginkan Pilkada 2024 digelar sesuai jadwal. Alasan pertama menyangkut situasi pandemi Covid-19, sehingga pilkada sebaiknya tak digelar pada 2022 dan 2023.
"Alasan pandemi itu langsung saya skip karena enggak kredibel," kata Burhanuddin, Senin, 8 Februari 2021. Burhanuddin mengatakan alasan ini tak kredibel lantaran pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebelumnya berkukuh menggelar Pilkada 2020.
Padahal, banyak elemen masyarakat sipil yang mendesak agar pilkada ditunda demi mencegah terjadinya penularan kasus Covid-19. Namun, Burhanuddin menuturkan, ada alasan lain mengapa pemerintah menginginkan pilkada tetap digelar tahun 2024.
Dia mengatakan kepala daerah yang terpilih langsung oleh rakyat dianggap kerap tak bisa diajak berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Jika tak ada pilkada pada 2022 dan 2023, maka kepala daerah yang habis masa jabatan pada tahun itu akan digantikan oleh pelaksana tugas atau penjabat hingga Pilkada 2024.
Plt atau penjabat akan ditunjuk oleh eksekutif, yakni Presiden untuk plt atau penjabat gubernur dan Menteri Dalam Negeri untuk plt atau penjabat bupati/wali kota. "Maka akan memudahkan kontrol dalam pelaksanaan atau pencegahan atau manajemen handling Covid-19. Ini alasan yang saya dengar dari sudut sana, dari belakang layar lah ya," kata Burhanuddin.
Menurut Burhanuddin, alasan ini mungkin dapat diterima dan didiskusikan. Namun ia berpendapat alasan koordinasi penanganan Covid-19 ini tetap tak boleh menyalahi prinsip demokrasi.
Dalam demokrasi, kata Burhanuddin, seseorang boleh mengatur masyarakat jika orang tersebut dipilih langsung oleh rakyat. Ia mengingatkan jangan sampai pandemi Covid-19 menjadi dalih bagi pemerintah untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan demokrasi.
"Bahwa demokrasi melahirkan situasi gaduh, that's the beauty of democracy. Di situlah diperlukan kelincahan pemimpin dalam men-deliver, mendiskusikan, dan berkomunikasi dengan kepala daerah," ujar Burhanuddin.
<!--more-->
Berikutnya, Burhanuddin mendengar alasan bahwa Pilkada 2022 di DKI Jakarta dikhawatirkan memicu perpecahan masyarakat seperti yang terjadi di Pilkada DKI 2017. Ia mengakui alasan ini masuk akal dan mungkin terjadi.
Namun lagi-lagi, Burhanuddin mengatakan kekhawatiran akan dampak itu tak boleh mengalahkan substansi demokrasi. Pada intinya, ucapnya, pemilihan harus tetap berlangsung secara adil dan rakyat mempunyai hak menentukan siapa yang dipilihnya. "Soal efeknya kita bisa diskusikan supaya tidak memecah," kata dia.
Terakhir, Burhanuddin mendengar adanya kekhawatiran Pilkada 2022 bakal memberikan panggung politik bagi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk maju di Pilpres 2024. Alasan ini disebutnya bukan dari pemerintah, tetapi sempat mencuat di publik dan dilontarkan beberapa pengamat politik.
Mestinya, kata Burhanuddin, pihak-pihak yang tak setuju Anies menjadi presiden atau terpilih lagi menjadi gubernur DKI menantangnya lewat pemilihan. Yakni dengan mengajukan calon lain yang berkualitas untuk mengalahkan Anies.
"Dalam demokrasi, challenge dong dalam pemilu yang bersifat fair, ajukan calon yang qualified untuk mengalahkan Anies. Jangan kemudian aturan mainnya yang disingkirkan," ujar Burhanuddin.
Di sisi lain, Burhanuddin mengatakan peluang Anies Baswedan pun sebenarnya tak cukup kuat. Dari beberapa kali survei Indikator, kata dia, elektabilitas Anies tak lantas di atas angin meskipun sudah empat tahun menjadi gubernur DKI.
Burhanuddin membandingkan dengan elektabilitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika menjadi gubernur DKI pada 2012. Setahun memimpin ibu kota, kata dia, elektabilitas Jokowi sudah melampaui Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. "Tapi sekarang (Anies) enggak, lebih scattered, dan approval rating Anies juga enggak tinggi-tinggi amat," kata Burhanuddin.
Artinya, dia mengimbuhkan, mekanisme demokrasi itulah yang harus selalu diterapkan terlepas dari perbedaan preferensi dan sikap partisan yang dianut. "Kita sepakat yang suara terbanyak kita dukung, yang kalah beri kesempatan kepada yang menang, yang menang juga jangan menang-menangan," kata dia.
Jadwal pilkada sebelumnya sempat menjadi perdebatan di Dewan Perwakilan Rakyat. Awalnya, sejumlah fraksi mendorong normalisasi pilkada pada 2022 dan 2023 melalui revisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Namun, Presiden Jokowi meminta Pilkada 2024 digelar sesuai amanah UU Nomor 10 Tahun 2016. Jokowi juga meminta agar aturan pemilu tak setiap lima tahun direvisi. Fraksi-fraksi koalisi pemerintah kemudian berbalik badan menolak revisi UU Pemilu dan normalisasi pilkada.
Baca juga: Langkah Jokowi Memupus Rencana Pilkada 2022 dan 2023
BUDIARTI UTAMI PUTRI