Kepal Uji Formil UU Cipta Kerja, Dinilai Diskriminatif ke Petani dan Nelayan
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Aditya Budiman
Jumat, 20 November 2020 05:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 15 kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal) mengajukan uji formil Undang-undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang disorot pemohon ialah tak dilibatkannya petani dan nelayan dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
"UU Cipta Kerja sesungguhnya tidak benar-benar bermaksud 'cipta kerja' bagi petani dan nelayan kecil, melainkan merombak UU terkait petani dan nelayan tanpa partisipasi dari petani dan nelayan," kata perwakilan Kepal, Agus Ruli Ardiansyah dalam keterangan tertulis, 19 November 2020.
Ruli mengatakan tidak terlibatnya petani dan nelayan ini selanjutnya berdampak buruk pada perlindungan hak-hak petani dan nelayan kecil, terbengkalainya cita-cita reforma agraria, tersanderanya kedaulatan pangan, melemahnya sistem perkebunan berkelanjutan, dan juga sistem pendidikan nasional.
"Hal ini menunjukkan UU CK bersifat diskriminatif sejak proses perencanaan, penyusunan, dan pembahasannya," kata Sekretaris Umum DPP Serikat Petani Indonesia (SPI) ini.
Ruli menilai pemerintah berupaya mengintegrasikan sistem pertanian, perkebunan, perikanan, pangan, pertanahan, air, hingga pendidikan ke dalam sistem pasar yang longgar dan sangat kental nuansa bisnis dan investasi lewat UU Cipta Kerja. Menurut dia, hal ini dikhawatirkan berdampak menghambat pemajuan sektor-sektor tersebut dan malah memundurkan semangat kedaulatan serta terlindunginya hak-hak warga negara.
UU Cipta Kerja, menurut dia, merupakan produk yang dipaksakan untuk disahkan sehingga melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Pemerintah, kata dia, bahkan meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera membahas RUU Cipta Kerja itu.
Ruli mengatakan latar belakang sikap pemerintah ini salah satunya ialah adanya desakan dari World Trade Organization (WTO) untuk segera mengesahkan RUU Cipta Kerja. Kata dia, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya surat pemerintah Indonesia yang dicatat di WTO Nomor WT/DS477/21/Add.13, WT/DS478/21/Add.13 pada 18 Februari 2020.
<!--more-->
Inti surat itu menyatakan akan mengubah empat undang-undang agar sesuai dengan ketentuan WTO. Keempat aturan itu ialah UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Perwakilan Kepal yang lain, Hadi Saputra mengatakan langkah uji formil ke MK menjadi opsi lantaran tak ada tanda Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja. "Pengujian formil terhadap UU CK menjadi relevan dan sangat urgen dilakukan saat ini mengingat hanya diberikan waktu maksimal dimohonkan 45 hari sejak dicatatkan dalam Lembaran Negara," kata Hadi.
Hadi mengatakan urgensi pengujian formil tak sekadar untuk menjegal UU Cipta Kerja. Dia berujar, uji formil juga demi mengawal independensi MK sebagai pengawal konstitusi dalam pelaksanaan dan eksekusi putusan, mempertahankan tafsir MK terkait hak-hak konstitusional lewat putusan yang final dan mengikat.
Kepal mendaftarkan permohonan uji formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 19 November 2020. Kepal terdiri dari 15 organisasi masyarakat sipil.
Mereka adalah Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Yayasan Bina Desa), Sawit Watch, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Indonesia for Global Justice (IGJ).
Kemudian Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Field Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Aliansi Organis Indonesia (AOI), Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (Jamtani), dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).
BUDIARTI UTAMI PUTRI