Indeks Kemerdekaan Pers Nasional Masuk Kategori Cukup Bebas, Namun Ada Catatan
Reporter
Tempo.co
Editor
Syailendra Persada
Jumat, 11 September 2020 16:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) nasional 2020 mencatat angka 75,27. Hal itu menunjukkan kondisi pers di Indonesia masuk kategori “cukup bebas”. Namun, kebebasan pers di beberapa daerah di Indonesia masih mengalami banyak persoalan khususnya terkait kekerasan fisik, politik, sosial, ekonomi, dan hukum.
"Pada Tahun Politik 2019 telah terjadi kekerasan terhadap wartawan di beberapa daerah, seperti di DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan," kata Anggota Dewan Pers Indonesia, Asep Setiawan, Jumat, 11 September 2020.
Asep mengatakan berdasarkan indikator dari survei ini, masalah yang masih menjadi perhatian adalah tingginya intervensi dari luar, lemahnya akses bagi kelompok rentan dan rendahnya keragaman pandangan di dunia pers.
Selain itu juga tingkat independensi dari kelompok kepentingan yang kuat di dalam redaksi masih menempati peringkat di bawah. Faktor tata kelola perusahaan juga menempati peringkat bawah.
Beberapa indikator di lingkungan hukum seperti independensi dan kepastian hukum lembaga peradilan menduduki peringkat rendah. Pelaksanaan etika pers dan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas juga masih rendah dibandingkan indikator lainnya.
Selain itu, kemunculan media alternatif seperti media sosial dan media siber yang tidak mengusung prinsip jurnalisme, sangat mempengaruhui kualitas informasi yang beredar. Media tersebut cenderung bersifat instan, tidak mengedepankan akurasi, keberimbangan, dan keadilan.
Pada gilirannya, medsos dan media siber non jurnalisme tersebut justru mendistorsi media serius yang mengusung prinsip jurnalisme (media massa).
"Juga banyak ditemukan mereka yang mengaku-ngaku wartawan tapi kurang atau bahkan tidak menjunjung tinggi etika pers, sehingga melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap media massa," kata Asep.
Asep memaparkan fakta yang terjadi di banyak daerah, seperti di Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Kalimantan Selatan, dan Papua, seorang pendiri perusahaan media siber juga merangkap sebagai pemimpin redaksi, wartawan, dan pencari iklan. Hal ini berdampak pada pengabaian kaidah jurnalistik, mulai dari proses melakukan kegiatan jurnalistik sampai pada pemberitaan yang dihasilkan.
Perusahaan pers masih tergantung pada pemerintah daerah dalam hal pendanaan dan pendapatan media yang menyebabkan rendahnya akurasi, keberimbangan, dan verifikasi berita, serta terganggunya independensi ruang redaksi.