Penyidik senior KPK, Novel Baswedan saat bersaksi dalam sidang kasus penyiraman air keras terhadapnya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis, 30 April 2020. Akibat penyerangan tersebut mata kiri Novel sudah mengalami kebutaan total, sementara pengelihatan di mata kanannya di bawah 50 persen. TEMPO/M Taufan Rengganis
TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik KPK Novel Baswedan mengatakan sebaiknya jaksa penuntut umum jujur bila tidak yakin bahwa kedua terdakwa adalah pelaku sebenarnya penyiram air keras terhadap dirinya.
Bila jaksa tidak yakin, menurut Novel Baswedan, jaksa sebaiknya menuntut bebas para terdakwa ketimbang menuntut ringan 1 tahun penjara.
“Jaksa tidak boleh berkompromi dengan menghukum ringan, tapi harusnya dibebaskan, karena kita harus menganut standar pembuktian yang benar,” kata Novel dalam diskusi daring Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada hari ini, Rabu, 17 Juni 2020.
Novel menerangkan bahwa dirinya sejak awal ragu bahwa dua anggota Brigade Mobil Polri Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette adalah pelaku penyerangan yang sebenarnya.
Dia mengatakan pernah meminta penyidik Kepolisian untuk memperlihatkan dua alat bukti tindakan para pelaku. Tapi penyidik tak mau menunjukkan.
Menurut Novel Baswedan, ia kembali meminta ditunjukkan alat bukti oleh jaksa dalam proses penuntutan. Namun, jaksa menyatakan tidak bisa menunjukkannya.
Ronny menyerahkan diri ke polisi pada akhir 2019. Dia mengaku sebagai pelaku penyerangan. Setelah itu, polisi baru menangkap Rahmat Kadir.
Novel Baswedan mengungkapkan banyak sekali kejanggalan dalam proses penyidikan, hingga penuntutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya.
Dia mengatakan jaksa tidak menghadirkan sejumlah bukti penting di sidang, salah satunya botol yang digunakan untuk menampung air keras.
Botol tersebut bisa membuktikan bahwa cairan yang digunakan untuk menyerangnya adalah air keras. Bukan air aki seperti dakwaan jaksa.
Bukti baju gamis yang terkena air keras juga sudah terpotong dengan alasan untuk pengujian di laboratorium.
“Bila ada bukti yang diubah, harusnya dimasukkan dalam berita acara,” kata dia.
Dia juga mengungkap ada sejumlah saksi penting yang tidak dihadirkan dalam sidang. Padahal, saksi tersebut bisa membuktikan bahwa ada lebih dari dua orang yang mengamati rumahnya beberapa waktu sebelum penyerangan terjadi.
Novel mengatakan sudah memprotes kejanggalan ini ke jaksa, namun diabaikan.
“Hingga akhirnya saya mendapatkan berita di media ternyata tuntutannya adalah satu tahun, ini adalah kesewenang-wenangan, suatu proses yang dilakukan dengan sangat jelek dan vulgar,” ujar dia.