Foto Hakim Agung Muhammad Syarifuddin. Mahkamahagung.go.id
TEMPO.CO, Jakarta - ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat setidaknya lima pekerjaan rumah dalam pemberantasan korupsi yang harus diselesaikan oleh Ketua Mahkamah Agung baru, Muhammad Syarifuddin.
Menurut ICW, sejumlah PR tersebut belum dapat diselesaikan di era kepemimpinan Ketua MA sebelumnya, Hatta Ali.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan yang utama adalah vonis ringan bagi koruptor.
Dari catatan ICW, selama 2019 rata-rata sanksi yang dijatuhkan 2 tahun 7 bulan bui untuk koruptor.
"Hukuman bagi korupter belum membaik," kata Kurnia dalam diskusi 'Menakar Problematika Lembaga Peradilan dan Strategi di Masa Mendatang' lewat teleconferensi hari ini, Ahad, 26 April 2020.
Menurut dia, pekerjaan rumah pertama Muhammad Syarifuddin adalah mengubah perspektif para hakim.
Kurnia menilai para hakim belum melihat korupsi adalah kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Ia menegaskan perkara korupsi tak bisa disidangkan dengan cara seperti pidana umum.
PR Kedua, Syarifuddin harus bisa mengubah perspetif putusan pembatasan korupsi.
Menurut Kurnia, MA seharusnya tak hanya fokus pada pemidanaan. Isu pemulihan kerugian keuangan negara atau asset recovery juga penting.
Dari data ICW, dari total 1.019 perkara dengan 1.125 terdakwa, kerugian negaranya Rp 12 triliun. Namun, pidana tambahan berupa uang pengganti hanya dijatuhkan Rp 780 miliar.
"Praktis kurang dari 10 persen keuangan negara bisa dipulihkan kembali."
PR ketiga Muhammad Syarifuddin, terkait dengan isu pencabutan hak politik bagi terdakwa.
Kurnia menilai penting bagi MA untuk memberi perspektif bagi hakim bahwa pencabutan hak politik tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).
Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan pencabutan hak politik terdakwa tak melanggar HAM selama ada batasan, yaitu 5 tahun.
PR keempat adalah kelengkapan administrasi.
ICW menyoroti pengadilan negeri yang tak mengunggah amar putusan ke website masing-masing. Meski pada akhirnya muncul lewat direktori Mahkamah Agung, namun waktunya sangat lama.
Kondisi tersebut menyulitkan masyarakat yang membutuhkan amar putusan cepat.
Adapun PR Syarifuddin kelima adalah pengawasan perilaku hakim.
Kurnia mengatakan pada era kepemimpinan Hatta Ali, ada 20 hakim terjerat korupsi.
"Ini seharusnya bisa diperbaiki di era Pak Syarifuddin agar publik kembali percaya, ke MA untuk mencari peradilan," ucap Kurnia.