Pendiri dan pengasuh tempat singgah dan panti asuhan Rumah Aira, Maria Magdalena mencium pipi seorang anak balita yang terinfeksi HIV/AIDS, di Rumah Aira, Semarang, Kamis, 21 November 2019. Rumah ini menjadi tempat bernaung bagi puluhan pengidap HIV/AIDS atau ODHA. ANTARA/R. Rekotomo
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana, mengatakan mereka kini sedang mendata kekosongan obat antiretroviral atau ARV bagi pengidap HIV/AIDS di sejumlah daerah di Indonesia.
"Membangun strategi komunikasi kepada pasien agar tidak timbul kepanikan yang pada akhirnya akan merugikan pasien itu sendiri," kata Aditya kepada Tempo padq Minggu, 8 Maret 2020.
Aditya menjelaskan, obat ARV yang saat ini langka di 40 kabupaten dan kota di Indonesia itu terdiri dari beberapa jenis. Adapun jenis yang paling direkomendasikan saat ini adalah ARV dengan kandungan regimen Tenofovir, Lamivudine Efavirenz (TLE) dan Tenofovir, Lamivudine dan Dolutegravir (TLD).
Saat ini harga obat ARV jenis TLE dan TLD seharusnya antara Rp 125.000-150.000,- per botol , si 30 butir. Pada tahun 2016, Pemerintah menetapkan pemenang tender dengan harga 404.000 per botol dengan isi 30 butir. "Ini yang terus kami suarakan agar harganya bisa diturunkan," ujarnya.
Aditya menegaskan, mereka mendorong Kementerian Kesehatan agar segera mengeksekusi pengadaan APBN Reguler dengan membeli obat ARV jenis TLE dan TLD dalam bentuk sediaan dosis tetap dan bukan jenis ARV lainnya.
Selain itu, IAC juga menuntut agar Pemerintah segera meninjau ulang dan mengambil langkah cepat dalam menyediakan obat sampai tingkat layanan. "Uang sudah tersedia, beberapa obat sudah masuk e-katalog ya langsung belanjakan saja," katanya.
Selain itu, Aditya juga menuntut agar Terawan mengevaluasi sistem kerja dan pelaksana dari prosss pengadaan obat ARV. "Kenapa sampai berlarut-larut dan menyebabkan kekosongan stok?" ujarnya.