INFO NASIONAL — Sebagai salah satu upaya mencegah berbagai kerusakan lahan gambut, Badan Restorasi Gambut (BRG) melaksanakan Pertemuan Ilmiah Nasional. Setelah tiga tahun terakhir melakukan riset dengan berbagai dinamikanya di lapangan, maka dirasa perlu adanya pertemuan yang menitikberatkan pada pengoptimalan ilmu pengetahuan dan inovasi riset terkait neraca dan tata kelola air ekosistem gambut untuk 2020.

Pertemuan Ilmiah Nasional yang berlangsung 25 hingga 27 November 2019 di Jakarta berhasil mendatangkan 139 peserta dari berbagai Lembaga Negara, Institusi Pemerintah, Lembaga Penelitian, Peneliti Lingkungan, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta Universitas di Indonesia. Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG, Dr. Haris Gunawan sebagai ketua penyelenggara kegiatan telah mengundang sekitar 170 stakeholder ahli pada bidang masing-masing, termasuk 13 rektor universitas.

“Pertemuan dalam format diskusi pleno ini terbagi dalam tiga ruang diskusi dan membahas 27 paper riset yang ujungnya bermuara kepada pengetahuan tata kelola air di lahan gambut,” katanya.

Sementara dalam sambutannya, Kepala BRG menyatakan, pertemuan ilmiah ini juga sebagai upaya meningkatkan kerja riset inter-disipliner dengan orientasi solusi berkelanjutan. “Pertemuan digagas untuk integrasi pengetahuan dan inovasi teknologi terkait neraca air dan tata kelola air ekosistem gambut sebagai dukungan ilmiah restorasi berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG),” ujarnya.

Lebih lanjut, Nazir mengemukakan pada 2020 berdasarkan data BMKG, NASA, dan Lembaga penelitian Jepang menyatakan El Nino lemah akan ada di Indonesia seperti halnya 2019. Hanya saja ada satu peneliti independen dari Jerman yang menggunakan metode lain menyatakan hal yang berbeda. “Antisipasi tetap kita lakukan, tidak boleh kendor,” ujarnya.

Berdasarkan perintah presiden untuk tata kelola air, tahun ini BRG mulai menghitung berapa jumlah air yang bisa ditampung pada lahan gambut. Sehingga akan ada stamina optimal pada 2020 untuk mencegah berbagai kerusakan gambut, utamanya kebakaran hutan yang selalu terjadi setiap tahun.

Nazir menganalogikan istilah stamina optimal untuk gambut ini dengan lari maraton. “Saat kita lari maraton 42 kilometer, sebelum mulai kita minum air sebanyak mungkin. Setiap 10 kilometer biasanya ada stan untuk minum air, jika dirasa cairan sudah mulai berkurang dengan adanya rasa haus. Nah, ini juga yang kita lakukan, jika dirasa gambut itu kekurangan air kita akan tambah dengan hujan buatan atau teknologi yang sudah teruji lainnya,” kata Nazir kepada Tempo.

Untuk itu hasil dari pertemuan ilmiah ini diharapkan bisa memberikan dukungan konkret bagi upaya pengelolaan ekosistem gambut dalam suatu KHG. Apalagi restorasi lahan gambut melibatkan semua pemangku kepentingan dalam satu hamparan KHG, agar ada pemahaman yang sama perihal tata kelola air di lahan gambut.

Untuk memulihkan ekosistem gambut perlu pendekatan komprehensif, holistik, dan integratif dalam penggunaan lahan gambut di samping program teknis 3R (Rewetting, Revegetation, dan Revitalization). Selain itu, para pemangku harus mendukung dan berpartisipasi dalam proses perbaikan ekosistem gambut di KHG.

Topik pembahasan dalam pertemuan ini dipilih berdasarkan pendekatan 3R seperti isu restorasi KHG berkelanjutan, sintesis pembelajaran riset aksi hidrologi, sintesis pembelajaran revegetasi, sintesis sosial, ekonomi, antropologi, dan kebijakan, serta sintesis dan pembelajaran restorasi gambut terintegrasi. (*)