Ratusan Mahasiswa menggelar aksi menolak RUU KUHP dan UU KPK yang baru di deoan gerbang pintu gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis, 19 September 2019. Dalam aksi tersebut mereka menolak RKUHP dan UU KPK yang baru disahkan. TEMPO/M Taufan Rengganis
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) terang-terangan menentang pengesahan revisi Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) karena dinilai masih banyak pasal-pasal bermasalah. Saat ini mereka tengah menyiapkan langkah-langkah agar DPR menunda pengesahan, dan kembali membuka pembahasan RKUHP.
Menurut peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, saat ini mereka tengah menyurati Presiden Joko Widodo atau Jokowi, dan menjelaskan poin-poin kekhawatiran mereka soal RKUHP. Agar Jokowi dapat menolak pengesahan di pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna pekan depan.
“Kami meminta presiden untuk menolak di paripurna. Walau mungkin kemungkinannya kecil,” ujar Maidina selepaskonferensi pers di kantor Indonesian Corruption Watch, Kalibata Timur, Jumat 20 September 2019.
Karena kecilnya kemungkinan ditolak, Maidina mengatakan, baik ICJR maupun Aliansi Nasional Reformasi KUHP kini tengah menyiapkan juga langkah untuk mengajukan Judicial Review atau uji materi pasal-pasal bermasalah di Mahkamah Konstitusi. Saat ini, kata dia, strategi tengah dirancang, dan penetapan pasal-pasal apa yang akan digugat nantinya.
Sebelum itu, Maidina mengharapkan agar masyarakat punya sikap yang sama terhadap RKUHP, agar tak diperlukan pengaduan ke MK, dan penolakan terhadap RKUHP ini dilirik oleh presiden. Saat ini ia menilai sudah banyak respon dari masyarakat yang juga menentang pengesahan RKUHP.
Salah satu contohnya, kata dia, aliansi mahasiswa yang kemarin mengadakan unjuk rasa di depan gedung DPR. Hal itu menurutnya sudah menunjukkan adanya kepedulian dari masyarakat terhadap RKUHP.
“Masyarakat biasa saja (harus) punya kepedulian, dan RKUHP jadi isu nasional. (Saat) semua orang sudah bisa ngomongin, berarti harus ada respon oleh presiden saat ini,” ujarnya.
RKUHP sebelumnya sudah lolos pengambilan keputusan tingkat I di Komisi III DPR RI. Rapat kerja antara DPR dan pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sepakat untuk meloloskannya ke pembahasan tingkat II di rapat paripurna, satu tahap sebelum disahkan menjadi Undang-Undang.